02 Januari 2017

CREDO NEGERI: SEHATI!


kompas.com, Senin 2/1

























Selamat Tahun Baru 2017 Indonesia!


ISIS: Ini Sesuai Itu Sesuai
Belakangan “keadilan sosial” menjadi dua kata yang demikian populer. Bukan hanya pada jelang Pilkada tapi juga menjadi harapan rakyat yang makin hari makin kuat kepada setiap pemimpin negeri. Dan jika dua kata ini sama sekali tak mendapat tempat di hati pemimpin negeri, hasilnya adalah rasa kecewa yang terus menerus dibuahi, lalu menghasilkan kebencian yang makin membakar hati, dan akhirnya melahirkan perbuatan-perbuatan yang menentang hukum dan juga nurani.

Jadi dalam pikiran awam saya, kelompok teroris apa pun itu bentuknya, apa pun itu namanya, tidak akan menjadi-jadi kalau keadilan sosial mewujud dalam “Ini Sesuai Itu Sesuai”. Artinya segala-galanya sesuai dengan harapan dan keinginan. Apa mungkin? Buat saya, sangat mungkin untuk mewujudkan itu di Indonesia.  Nggak percaya? Lihat saja,  apa yang terbentang dan terkandung dari Aceh sampai Papua. Setiap pemimpin bisa melakukan itu. Tetapi catatannya adalah tidak semua pemimpin mau melakukannya. Bersedia mewujudkannya. Kecuali hanya berkata-kata saja.


Kekecewaan Keadilan Sosial
Persoalan kekecewaan keadilan sosial yang diremehkan dan dibiarkan, akhirnya menjadi benih (tidak hanya satu, banyak benih yang akan tumbuh) yang menciptakan “spesies” baru atau kelompok baru, saling bertautan, saling menguatkan untuk menjadi satu tubuh (organisasi), bergerak dengan arah dan tujuan yang sama. Jadi, tidak heran kalau dalam beberapa kasus anggota-anggota dari jaringan teroris merupakan orang-orang yang suka berpikir, cerdas, reflektif, namun mati nurani karena terbakar api kekecewaan bercampur kebencian.

Saya sedikit bercerita.

Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan konsultan IT. Satu teman saya (wanita), sangat diandalkan oleh kepala divisinya. Ia adalah seorang programmer cerdas, berwawasan luas, tajam berlogika dan beranalisis. Saking cerdasnya, dia juga diperebutkan oleh dua divisi yang membawahi IT. Menurut penuturannya kepada saya, saat kuliah, dia coba “direkrut” oleh seseorang yang menurutnya “aneh”.  Teman saya ini “didekati” di area kampusnya di Bandung saat sedang makan bubur ayam pagi, sebelum perkuliahan dimulai. Setelah diajak mengobrol begini dan begitu oleh “seorang wanita asing” disepakatilah bahwa wanita tersebut akan menjemputnya di suatu tempat di lain hari. Sebelum menuju hari penjemputan, teman saya ini “bergumul”. Hatinya gelisah. Karena perbincangan dengan “wanita asing” tersebut disisipi hal-hal yang berkaitan dengan agama, maka teman saya justru makin merenung dan membuka-buka Alquran-nya, berharap menemukan jawaban di sana. Keesokan harinya teman saya memutuskan untuk menghilang dari area di mana “wanita asing” tersebut menemuinya dan menolak untuk ditemui. Alasannya bukan takut melainkan merasa ANEH. 
Tidak lazim baik isi perbincangan maupun orang yang memperbincangkannya. Intuisinya pun terus berbicara dan dia tidak meremehkan itu.

Apa yang selanjutnya terjadi?

Tidak lama kemudian “wanita asing” yang mendekatinya itu muncul di METRO TV sebagai terduga anggota teroris yang menghilang dari rumah dan sempat meninggalkan surat kepada ibunya. (Saya belum menemukan tautan untuk berita ini, kurang lebih berita tahun 2010-2011).

Teman saya mengenali wajah wanita dalam berita tersebut. Dia pun gemetar dan hampir pingsan lalu menceritakan pengalamannya kepada ibunya. Sejak saat itu, pengalaman tersebut memberinya perspektif baru tentang agama, pergaulan, dan nilai-nilai kehidupan.
Bisa jadi para anggota baru tidak memiliki kekecewaan yang sama atau tidak berpikir begitu jauh tentang format keadilan sosial baru. Tapi toh organisasi teroris telah membentuk divisi-divisi dan salah satunya adalah perekrutan anggota-anggota baru yang akan dijangkiti “penyakit” mereka, untuk menduplikasi hati mereka yang bukan lagi seperti hati manusia. Dan paling tidak, para anggota baru ini memiliki suatu kemampuan yang efektif bagi organisasinya.

Pengalaman kekecewaan keadilan sosial kelompok ini membentuk jaringan untuk menguatkan persaudaraan senasib-sepenanggungan di antara mereka dengan dasar yang justru berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, karena ketiadaan nurani pada mereka. Mereka membentuk aturan sendiri, dasatitah sendiri dan barang siapa menentang arah, asas, haluan, maupun pengajarannya harus dihukum mati. Sehingga menurut mereka, mustinya dunia ini hanya didiami saja oleh aturan-aturan mereka, karena ternyata menurut mereka Tuhan tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan keadilan sosial dan akhirnya mereka menciptakan figur tuhan buatan mereka sendiri yang dianggap merestui arah dan perbuatan mereka untuk menjadi legalitas yang didengung-dengungkan dalam misi mereka.

Kekecewaan-kebencian-membunuh.

Fatal akibatnya kalau pemimpin negeri tidak dapat membaca hati nurani rakyat, dan mengamanatkannya apalagi jika terlalu banyak “distorsi” pada jalur wakil rakyat dan pemimpin negeri seperti sekarang ini. Maka persoalan teroris hanya akan menjadi virus yang bolak-balik muncul seperti pada gadget yang tidak terpelihara baik, entah itu benar-benar dipicu oleh kekecewaan keadilan sosial atau campur tangan lain, —yang dengan sengaja melempar isu keadilan sosial agar rakyat tidak leluasa membangun dirinya dan pemimpin kehilangan fokus kerjanya— dengan tujuan mengendalikan dunia dalam tangannya. Terlepas dari apakah sebenarnya dunia sedang mengarah kepada satu tatanan dunia saja, Ini Sesuai Itu Sesuai, harus menjadi credo bersama antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Sehati.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar