13 Juli 2012

4 Kekuatan dalam (Baju) Kotak-Kotak Jokowi



Kemeja kotak-kotak telanjur melekat kuat pada sosok Jokowi dan Basuki, pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kemeja kotak-kotak tersebut tampaknya telah menjadi baju ‘seragam dinas’ mereka, selama kampanye Pilkada berlangsung.
Saat ditanya mengenai kemeja kotak-kotaknya, Jokowi bertutur, bahwa selama ini Jakarta identik dengan terkotak-kotak. Ini simbol. Berangkat dari situasi itu, Jakarta perlu berubah menjadi Jakarta yang baru.

Simbol, warna, dan bentuk, dalam ilmu semantik juga menjadi sarana bahasa dan berkomunikasi. Dalam konteks kotak-kotak ini, analisa saya merangkum empat kekuatan dalam kotak-kotak Jokowi-Basuki.

Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi yang tepat, memerlukan analisa, fakta, dan identifikasi masalah yang tepat pula. Semuanya dirangkum dalam kegiatan-kegiatan yang efektif untuk mengenali siapa sebenarnya sasaran komunikasinya. Kegiatan Jokowi-Basuki terjun ke lapangan bertatap muka dengan warga, kaum marginal dan mereka yang berkepentingan dengan kota Jakarta, merupakan bentuk survei, analisa, dan pengumpulan fakta yang dilakukan pasangan tersebut. Dalam pengidentifikasian masalah, keduanya ‘terbungkus’ dalam kotak-kotak sehingga itu menjadi faktor utama yang diingat oleh si penerima pesan. Intinya, Jokowi-Basuki konsisten dengan kotak-kotaknya. Dan itu adalah langkah pertama dari bentuk strategi komunikasi mereka.

Self Branding
Figur Jokowi sebagai Walikota Solo yang mumpuni menyertai kotak-kotak yang dikenakannya. Testimoninya adalah rakyat Surakarta (Solo) sendiri. Track record seseorang (positif atau negatif) yang berlangsung  lama, konsisten dan tetap, membentuk self branding seseorang.
Artinya, khayalak bisa mengartikan bahwa, tidak ada Jokowi yang lain selain Jokowi yang pakai baju kotak-kotak berjalan beriringan dengan Basuki, yang akrab disapa Ahok. Tidak ada tagline lain selain Jakarta Baru sebagai program kerja yang dicanangkan Jokowi-Basuki. Tidak ada Jokowi lain yang punya pesona figur seperti yang disaksikan masyarakat Solo sendiri. Dan sederet testimoni lain yang membentuk self branding pemiliknya.

Emotional Bonding & Branding
Komunikasi tidak berarti apa-apa jika tidak menimbulkan ekspresi. Ekspresi, erat kaitannya dengan emosi. Komunikasi tanpa emosi sama saja berbicara dengan tembok.
Dalam ilmu komunikasi pemasaran, emotional branding dibentuk dalam 4 aspek kuat: hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi, dan visi. Hubungan: ia menegaskan di televisi bahwa koalisi terbaik adalah koalisi dengan warga Jakarta sendiri. Pengalaman panca indera: kotak-kotak Jokowi menjadi suatu pengalaman visual yang diperoleh khayalak saat berhadapan dengan beliau. Kekuatan panca indera (dalam hal ini mata), saat dibarengi dengan pengalaman psikis/emosi dalam keseluruhan peristiwa akan meninggalkan kesan kuat (positioning) dalam benak khayalak. Ketika itu terjadi secara intens, hasilnya adalah ikatan emosional. Imaginasi: Jokowi menetapkan, mengupayakan dan mengampanyekan satu spirit perubahan dalam satu tagline kerja: Jakarta Baru. Visi: tagline tersebut dijabarkan dalam sebuah visi-misi yang dipublikasikan agar diketahui warga Jakarta.

Opini Publik
Kotak-kotak, Walikota Solo, masalah Jakarta yang bejibun, macet dan banjir yang jadi trending topic kampanye, kesenjangan antara kaya dan miskin yang menjadi-jadi, pernyataan kontroversial, isu-isu yang menantang para kandidat, kepercayaan PDI-P dan Gerindra kepada kapabilitas Jokowi-Basuki, apa yang dirasakan warga Jakarta terhadap spirit perubahan yang dilemparkan Jokowi, persepsi khayalak terhadap rivalnya, dan…satu tembakan yahud dari media (!) cetak maupun elektronik menjadikan mayoritas opini publik tergiring pada satu sosok yang berpakaian kotak-kotak.


Ya, sayang sekali, Jokowi punya kekuatan-kekuatan itu. Memang, idealnya, beliau ber-KTP DKI. Namun rotasi kerja dalam sebuah pemerintahan menjadi kebijakan strategis yang perlu didukung demi tercapainya satu tujuan: pemerintahan yang jujur, bersih, dan merakyat. Semoga bukan sekedar kata-kata.


"Kumis bisa dicukur. Itu inkonsistensi.
Tapi kotak-kotak, tetap menjadi kotak-kotak"

4 komentar:

  1. Djazuli Hasyim21 Juli, 2012 17:01

    Mudah2an Jokowi bukan kotak2 papan catur. Yang dimanfaatkan untuk percaturan politik untuk kepentingan politik tertentu. Apabila itu terjadi. Perubahan Jakarta akan tidak lebih baik.
    "Kumis harus dicukur, agar wajah lebih ganteng. itu perubahan. Tapi kotak papan catur,tetap akan jadi arena permainan. Itu konsistensi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Revisi Komentar Balasan

      Wah, argumen Pak Hasyim punya makna sendiri, nih! Untungnya, kotak-kotak Jokowi bukan hitam-putih kan, pak? Apalagi abu-abu. Beliau punya filosofi sendiri tentang kotak-kotaknya.

      Memang, catur tetap catur, benar. Itu konsistensi. Tapi catur nggak bisa dimainkan kalau nggak ada pion-nya. Pion yang menentukan permainan lho. Jadi, mengerti maksud saya kan, ya? :) Apakah Jokowi pion-nya Mega atau bermain sendiri di arena? Hehe, semua bisa berargumen. Melihat corak politik di Indonesia yang berkembang sampai kini, masing-masing pemain rasanya mencari pion terbaik yang bisa jadi favorit. Itu politic marketing.

      Bicara soal pion, kata pecatur Perancis, Andre Philidor, pion itu jiwa permainan catur.

      Terimakasih sudah mampir ke taman :)

      Salam,
      Edenia

      Hapus
  2. Analisis strategi brandingnya mantap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Revisi:

      Terimakasih Pak Bayu, sudah mampir ke taman.
      Menganalisa memang ranah minat saya. Semoga bermanfaat.

      Salam,
      Edenia

      Hapus