“Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Saya senang bisa berguna buat orang lain.” Ujar Mulyadi, seorang guru yang bersedia berbagi ruangan di rumahnya yang kecil, bagi para pengungsi korban Merapi.
(Rakyat Tulus Berbagi, Kompas, Minggu 7/11)
Tanpa digebah, rakyat bergerak menyatakan solidaritas dan rasa kemanusiannya, dalam bentuk apa pun untuk meringankan beban, mewujudkan peduli, dan menyatakan diri sebagai saudara ketika saudara-saudaranya tertimpa bencana. Namun di sisi lain, penanganan bencana belum juga terlihat matang dan sigap. Matang dalam perencanaan dan koordinasi, sigap dalam tanggap darurat. Dalam situasi yang genting seperti itu, diberitakan beberapa wakil rakyat malah ke luar negeri, lebih memenangkan perkara yang tingkat urgensinya tidak bersinggungan langsung dengan apa yang dibutuhkan rakyat saat itu.
Di setiap bencana yang menimpa Tanah Air, tak henti-hentinya bantuan mengalir. Setiap Institusi Media, (cetak maupun elektronik), LSM, NGO, Perusahaan, Sekolah, Perguruan Tinggi, Komunitas, Supermarket (besar maupun kecil), Gereja dan Masjid, tak kurang-kurangnya menyediakan kotak sumbangan dan akses mudah untuk membuat setiap orang menyalurkan bantuannya. Di koran-koran, daftar nama yang menyumbang ditulis berjejer ke bawah, total jumlah yang terkumpul ditampilkan dalam running text televisi, diumumkan di sekolah-sekolah, di Masjid dan Gereja, di hadapan jemaatnya. Besarnya pun tak tanggung-tanggung, sampai miliaran rupiah. Itu pun baru di satu rekening bank. Kalau begitu, sebetulnya, kalau soal memberi, rakyat sih jelas-jelas mau memberi. Memberi toh cuma persoalan hati. Sepanjang ada ketulusan, niat yang disertai doa, memberi jadi perkara mudah. Mereka yang punya waktu dan tenaga cukup, berangkat ke tempat-tempat bencana dan menjadi relawan di sana. Setiap orang bergerak berdasarkan nilai (value) yang bisa diberikannya, sesuai panggilan nurani dan kapasitasnya masing-masing. Kalau begitu, rakyat Indonesia tidak kehilangan semangat persatuannya dong, tidak juga pudar nasionalismenya. Dengan kenyataan tersebut, mustinya, para pemimpin bisa melihat hal itu sebagai sumber daya yang kuat untuk bergerak maju, menjadikan Indonesia besar, unggul, dengan karakter dan jati diri bangsa yang tegas. Kurang apalagi? Rakyat bersedia memberi lho, jiwa-raga, hati dan pikirannya.
Mesir kuno, pada jaman pemerintahan Firaun (sekitar 1876 Sebelum Masehi), pernah mengalami 7 tahun masa kelaparan, dan 7 tahun masa kelimpahan pangan. Pada masa itu, seorang bernama Zaphnath Pa'aneah (30 tahun), ditunjuk Firaun menjadi wakilnya, tampil sebagai Perdana Menteri Mesir yang penuh hikmat untuk menata, merencanakan, dan menyiapkan rakyat Mesir untuk hidup di dua masa penting itu.
Berkaitan dengan Indonesia, tentu, Sang Pencipta bukannya tanpa maksud menempatkan Indonesia dalam letak geografis yang terdiri dari gugusan pulau-pulau, gunung-gunung, laut dan daratan, yang membujur dalam lengkungan seperti telapak tangan, dari Sabang sampai Merauke. Bahkan karena letaknya yang unik itu, dunia dan kita sendiri juga menyebutnya dengan sebutan Bumi Khatulistiwa. Banyak, terlalu banyak, yang Tuhan beri buat Indonesia. Namun, dengan pemberian yang gemah lipah loh jinawi itu, Ia juga meminta Indonesia untuk mempertanggungjawabkannya dengan baik dan benar. Baik tidak akan cukup baik tanpa benar. Karena itu, siapa pun yang memimpin Indonesia, ia sangat membutuhkan hikmat untuk menata dan merencanakan.
Alih-alih soal bantuan yang terkumpul dalam jumlah miliaran rupiah (mulai dari tsunami Aceh, gempa Nias, Yogya, Padang, Tasik, terus bergulir...ke Wasior, Mentawai, letusan Merapi), tentu, rakyat yang ikhlas memberi juga menunggu hasil konkritnya. (Kemana ya, uang-uang itu? Dalam pikiran awam saya, jumlahnya pasti mencukupi untuk mendirikan pemukiman baru atau membangun rumah-rumah baru, peternakan, dan lain-lain yang berkaitan dengan jaminan masa depan rakyat korban bencana). Karenanya, berkaitan dengan jumlah rupiah yang terkumpul, dan masa depan negeri keseluruhan, rakyat menunggu pemimpin seperti Zaphnath Pa'aneah. Pemimpin yang berhikmat untuk menata, merencanakan, memetakan dan membawa rakyat Indonesia untuk hidup dan tinggal, berpadanan dengan karakter geografis bangsanya. Hikmat untuk memimpin, bukan memimpin untuk korupsi. Hikmat untuk mencintai negeri. Bukan menghianati.
Alih-alih soal bantuan yang terkumpul dalam jumlah miliaran rupiah (mulai dari tsunami Aceh, gempa Nias, Yogya, Padang, Tasik, terus bergulir...ke Wasior, Mentawai, letusan Merapi), tentu, rakyat yang ikhlas memberi juga menunggu hasil konkritnya. (Kemana ya, uang-uang itu? Dalam pikiran awam saya, jumlahnya pasti mencukupi untuk mendirikan pemukiman baru atau membangun rumah-rumah baru, peternakan, dan lain-lain yang berkaitan dengan jaminan masa depan rakyat korban bencana). Karenanya, berkaitan dengan jumlah rupiah yang terkumpul, dan masa depan negeri keseluruhan, rakyat menunggu pemimpin seperti Zaphnath Pa'aneah. Pemimpin yang berhikmat untuk menata, merencanakan, memetakan dan membawa rakyat Indonesia untuk hidup dan tinggal, berpadanan dengan karakter geografis bangsanya. Hikmat untuk memimpin, bukan memimpin untuk korupsi. Hikmat untuk mencintai negeri. Bukan menghianati.
Rakyat menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar