21 November 2010

Antara Gayus, Yudas, dan Zakheus




Rasanya, belum reda airmata rakyat yang diguncang bencana. Sekuat tenaga, mereka mengumpulkan lagi kekuatan, energi, dan harapan, untuk menatap hari depan. Berharap, segalanya bisa seperti sedia kala. Memasuki hidup di “kesempatan kedua” ini, syukur-syukur justru malah jauh lebih baik, setelah segalanya ditelan mulut wedus gembel.

Di satu sisi yang lain, di kehidupan milik seseorang bernama Gayus, segalanya tampak mudah dan “sederhana”. Gayus tidur, duduk, berdiri, makan, dan berjalan, di atas tumpukan uang. Uang menerbangkannya ke manapun ia suka, (yang terakhir, menurut pengakuannya, ia merasa perlu refreshing, jalan-jalan ke Bali, dan duduk nonton tenis di sana). Uang meninabobokannya sampai pulas menyongsong pagi, uang mendudukannya di kursi empuk pegawai urusan perpajakan, uang memberinya kenikmatan untuk mengecap setiap makanan enak, uang memberinya kebebasan untuk membangun “kerajaannya”, dan “berjalan” sejauh yang dia inginkan, melalui kursi pegawai urusan perpajakan, yang dijabatnya.

Ya, Gayus, pegawai urusan perpajakan, yang kini tengah ramai dibicarakan publik, ditulis oleh banyak wartawan, dan menjadi salah satu news maker versi Metro TV. Gayus menjadi berita, karena melalui kursinya itu, dia telah menjual institusi yang telah memberinya nafkah, bergandengan tangan dengan mereka yang berlaku curang, demi materi yang tak satu pun akan dibawa mati. Sayang beribu sayang, kini, label yang melekat pada dirinya adalah penjahat besar; orang yang duduk manis dalam komplotan jahat; Mafia Perpajakan.

Dulu (dan kini), ada seorang tokoh termasyur. Alkitab mencatat namanya Yesus. Kitab yang lain menulisnya dengan nama Isa Almasih. Sebagai Guru, Yesus sangat populer, bukan hanya di mata publik, para tokoh agama, dan para awam saat itu, tetapi juga di mata murid-muridnya sendiri. Yesus memiliki 12 murid, dan salah satunya bernama Yudas Iskariot. Untuk mengatur pelayanan Gurunya yang begitu besar, Yudas diberi mandat sebagai bendahara pelayanan, penyimpan uang kas, yang mengatur ini-itu soal uang. Sayang, Yudas, tak kuat hati mengemban tanggung jawab tersebut. Ia pun tergelincir di atas uang, karena uang, dan demi uang. Bukan hanya mencuri uang (baca: mengorupsi) yang terkumpul dan bersikap munafik dengan pura-pura mengingatkan orang tentang fakir miskin, namun ia juga menyerahkan (menjual) Guru-nya kepada pihak-pihak yang menghendaki nyawa Sang Guru. Yudas menghianati Gurunya, kejernihan pengajaran yang diterimanya, bahkan jati dirinya sendiri. Didakwa oleh hati nuraninya, telanjur terpeleset, diperlakukan habis manis sepah dibuang oleh orang-orang yang semula bersekongkol dengannya, Yudas menempuh jalan suram. Ia menuai apa yang ditaburnya. Tak kuat menanggung dakwa hati, Yudas mati bunuh diri. Rohnya ditolak surga dan bumi. Inilah ujung dari hidup si koruptor yang jauh dari jalan terang.

Lain halnya dengan Zakheus. Ia juga pejabat urusan perpajakan. Saat itu, masih dalam kurun waktu pelayanan Yesus, rakyat yang tengah dijajah Pemerintah Romawi, masih juga didera oleh berbagai macam pungutan pajak, yang mencekik leher mereka. Dan Zahkeus, berperan besar dalam hal memungut pajak rakyat. Namun, suatu hari, perjumpaannya dengan Sang Guru telah mengubah sudut pandangnya tentang uang, tentang dirinya, pekerjaannya, dan rakyat yang selama ini diperasnya. Zakheus, membuka hatinya terhadap pencerahan mengenai uang, harta, hidup, sesama, dan makna berbagi. Ketika dengan rendah hati ia menerima ‘panggilan hidup’ yang sesungguhnya, apa yang lantas dilakukannya menjadi suatu pengakuan atas keberdosaannya selama ini, dan membuka pintu pengampunan Tuhan. Zakheus pun mengikrarkan kebaruan hatinya: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”

Cinta uang, akar dari segala kejahatan.
Gayus bisa memilih: tragis seperti Yudas, atau mengalami perjumpaan dengan Tuhan, dan menjadi seperti Zakheus.


6 komentar:

  1. "Uang itu nikmat jendral," kata Gayus dan relasi-relasinya.

    BalasHapus
  2. Hai, Mas Galih! Hehe, semua yang dari dunia memang enak, tapi kalo kebanyakan juga jadi keblinger ya? Thanks dah mampir. Btw, kapan nih kita berkolaborasi? Masih suka motret kan?

    BalasHapus
  3. Widiw... setuju.... harusnya Gayus bisa belajar dari contoh hidup Yudas atau Zakheus.
    Apalagi... nama Gayus sepertinya diambil juga dari Alkitab, bukan begitu Jeng Winny??? ;b

    BalasHapus
    Balasan
    1. Revisi 14/1/2011 15:08

      Rasanya Gayus perlu bertemu Zakheus ya, atau sekalian dengan Guru-nya Yudas juga? :D

      Thank you, Di.
      Salam,
      Edenia

      Hapus
  4. Nama Gayus jelas di ambil dari Alkitab, dan jangan lupa, bung Gayus berasal dari marga Batak : Tambunan, yg berakar Kristen(menyambung tanggapan sdr Hadi Sap), sayangnya ketekunan jadi anak Tuhan yg baik tdk ditunjukkan oleh si Gayus, malah memalukan marganya, kecuali pertobatan dgn gaya Zakheus, maka marga Tambunan pastilah merasa terusik atas tingkah pola si Gayus...aahh jadi menghakimi jadinya kita yaa....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Revisi

      Pak Djaya, saya justru baru tahu kalau nama Gayus diambil dari Alkitab lho! Apalagi dia itu rekan sejawatnya Paulus. Wah! Semoga nggak ada kasus besar yang bersinggungan dengan nama Paulus.

      Memang, dalam banyak hal, nama seseorang itu membawa akar budaya darimana dia berasal. Gara-gara Gayus, marga Batak jadi terbawa-bawa deh. Semoga masyarakat kita punya sudut pandang yang lebih luas soal ini, ya.

      Terimakasih sudah mampir ke taman :)
      Salam,
      Edenia

      Hapus