16 Desember 2016

Cegat Gubernur di Balaikota



Baiklah. Sejujurnya, Pak Ahok ini, Gubernur Jakarta kita, memang fenomenal. Sampai-sampai, kebiasaan paginya menerima dan mendengarkan komplen dan masalah warga di Balaikota dikritisi Pak Anies (dalam acara debat cagub cawagub di KOMPAS TV, Kamis, 15/12) sebagai cara-cara kerja yang cuma menunjukkan one man show saja.

Memang menarik, karena tradisi “cegat gubernur” ini baru terjadi dalam era kepemimpinan Pak Ahok sebagai Gubernur Jakarta. Sebelumnya tidak ada “tradisi” ini. Dan sebetulnya, bukan Pak Ahok yang menciptakan atau memulai tradisi ini. Melainkan warga sendirilah yang memulainya, baik disengaja atau tidak. Kenapa sih warga mau susah-susah nyamperin Pak Gubernur di Balaikota; dicegat di pintu masuk begitu? Bahkan mungkin mereka ini sempet-sempetin bangun lebih pagi, bela-belain belum sarapan demi ketemu sama Pak Ahok langsung?

Saya yang warga Jakarta juga baru engeh kalau hal semacam itu ternyata terjadi setiap pagi setiap hari. Bisa jadi, banyak alasannya, dan mungkin juga akan banyak teori bercampur di situ untuk memaknainya. Teori probabilitas bahwa setiap orang mendapatkan peluang yang sama untuk titik-titik, itu juga bisa. Karena toh jaman raja-raja dulu, raja yang bijak akan didatangi rakyatnya yang membawa perkara dan berharap mendapatkan penyelesaian yang seadil-adilnya. Pola-pola komunikasi semacam itu bisa saja terulang meskipun dalam lingkup yang kecil, sempit dan singkat. Atau bisa jadi juga soal kepastian mendapatkan solusi. Atau tentang hukum daya tarik, itu juga mungkin. Namun yang pasti, saya pribadi mengumpamakan kepemimpinan Pak Ahok sebagai kepemimpinan gembala.

Kepemimpinan Gembala
Domba itu binatang yang lemah, tidak berdaya dan selalu bergantung pada gembalanya. Di padang penuh risiko, sang gembala akan menggembalakan domba-dombanya dengan satu tongkat penjaga yang bentuknya seperti payung dengan ujung pegangan melengkung ke dalam. Tongkat ini digunakan untuk menghardik sekaligus mendidik. Menghardik pemangsa dan menarik domba yang nakal keluar dari kumpulan. Si gembala akan pasang badan duluan jika harus berhadapan dengan pemangsa besar seperti singa atau harimau.

Tetapi yang menarik adalah, gembala ini juga berfungsi sebagai pintu. Jadi jika domba-domba ini bermalam di sebuah kandang sederhana, maka cara gembala menjaganya adalah dengan membujurkan badannya melintang sebagai pintu atau duduk sebagai pintu. Jadi enak nggak enak, nyaman nggak nyaman, si gembala tidak boleh terlelap. Ia akan cuma tidur-tidur ayam sambil duduk. Kenapa membujurkan badannya sebagai pintu? Karena tubuhnyalah yang akan tersentuh lebih dulu baik oleh dombanya sendiri maupun oleh binatang lain di luar kawanan dombanya jika sesuatu keluar atau masuk ke dalam kandang. Maka otomatis, gembalalah yang sebenarnya siap mati bagi domba-dombanya.

Belum pernah terdengar di telinga saya, ada kepala pemerintahan begitu beraninya dan mati-matian pasang badan menghadapi “pemangsa” sampai-sampai bilang mati adalah keuntungan, seperti yang Pak Ahok bilang. Menurut saya, itu sikap seorang gembala.


Jadi apalah artinya jika sebuah kesantunan yang maha justru membuat domba-domba merasa segan menghampiri gembalanya? Dengan kata lain, saya malah merasa nyaman, kalau baju pak gubernur saya itu bau parfum rakyat, ada aroma rakyat di tubuhnya, ada kehidupan rakyat di urat nadinya, ada segala bau-bau tak sedap soal rakyat peliharaannya yang harus segera diurus dan kelola.

Nah jadi, jika demikian halnya, masak iya pak gubernur akan serta merta menepiskan tangan kepada para warga yang datang menghadap untuk minta didengar, diperhatikan walaupun cuma semenit dua menit? Apa bisa pak gubernur akan serta merta masuk pintu Balaikota tanpa sedikit pun mengindahkan? Cuma tunjuk tangan kepada ajudannya untuk melakukan ini-itu lalu selesai sudah?
Setiap warga yang datang pasti punya bahasa hati yang sama dan berharap untuk bisa diterima.

Gembala tak menampik domba-dombanya.

Saya dan semua warga (dan seluruh rakyat) berharap, upaya memenangkan kursi gubernur atau kursi-kursi apapun dalam pemerintahan, tidak dilihat dari sekadar kompetisi antar pribadi semata dalam jajaran elit-elit politik. Namun lebih dari itu. Pandang dan lakukanlah untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar menata kota dan mengelola pemerintahan. Sesuatu tentang kepemimpinan yang bisa menjadi jawaban dari jutaan damba dan doa. Dari banyak domba, dengan ragam suku agama bahasa dan budaya.

Saya respek dengan sikap Pak Ahok yang mati-matian menunjukkan untuk menghilangkan kesan kompetisi (saya mengamati bahasa tubuhnya yang merangkul Pak Anies dengan tulus usai acara debat di NET TV, Senin 12/12). Bahkan dalam acara debat tersebut, Pak Ahok mengatakan siap membantu Pak Anies jika terpilih nanti untuk menyelesaikan begitu banyak jadwal dan program kerja. Bukan main. Bayangkan. Itulah semangat juang dari kawan seperjuangan; tidak dingin, tidak tawar.

Gembala tidak pernah membuat hati domba-dombanya dingin, apalagi tawar. Karena hati yang terbuka lebih mudah dihampiri daripada hati yang tersembunyi tak terselidiki. Apalagi palsu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar