15 Agustus 2015

Perspektif Garam


Teman-teman di kantor kerap memesan buah potong sebelum atau sesudah makan siang di kantin kantor. Mereka akan berceloteh, “Jangan lupa garamnya ya, Bang,“ atau “Garamnya mana? Gak bakal enak kalo gak pake garam.” Demikian juga dengan kuah soto kalau terasa kurang garam. Anyep. Hambar. Bayangkan masakan pepes kalau kurang garam, kurang gurih rasanya. Masakan apa pun. Sekalipun pembumbuan dapat digambarkan dengan banyak cara, dan cita rasa kuliner dari belahan bumi mana pun disajikan dan dicicipi, rasanya kita sepakat bahwa garam menambah rasa kepada hampir semua hal yang disentuhnya. Benar?

Garam. Tampilannya nggak bling-bling. Malah terkadang agak putih dekil. Bukan sesuatu yang kita anggap mewah, tetapi garam selalu dipakai pada setiap resep masakan dan setia ada di meja-meja makan di restauran di botol-botol kecil yang unik. Tidak ada dapur rumah yang tidak memiliki garam. Tidak ada proses pengawetan dan pemurnian yang tidak menggunakan garam.

Refleksikan lebih jauh.

Dengan kegandrungan kita pada hal yang bersemangat dan ketertarikan kita pada kecemerlangan, kita sering mengabaikan (lebih tepatnya melupakan) bahwa dalam jangka panjang, kesetiaan yang “biasa”, sebetulnya justru adalah hal yang berdampak paling besar. Nggak percaya?
Coba lihat ibu kita di rumah. Dari bangun pagi sampai mau bangun pagi lagi. Dari kita kecil, sampai kita bisa cari duit sendiri. Hal-hal yang dilakukannya terlihat “remeh” tapi lihat “kesetiaannya” melakukan hal yang itu-itu lagi. Pengabdian seumur hidup. Coba lihat ayah. Coba lihat OB kantor. Coba lihat sohib yang setia dan bersedia mendengar. Coba lihat suami. Coba lihat istri. Coba lihat...coba lihat...coba lihat...

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”

Menjadi garam tidak harus dengan cara-cara atau perbuatan-perbuatan yang spektakuler. Malah kehadiran yang biasa, kesediaan untuk memberi diri, ―dari kita kepada orang lain dan sebaliknya―bisa menjadi anugerah yang terindah. Kita adalah karunia bagi sesama. Jangan tahan apalagi menunda untuk melakukannya.



#DirgahayuRepublikIndonesia #17-8-45 #RI70 #AyoKerja


Tidak ada komentar:

Posting Komentar