15 September 2014

Potongan


Setia Bukan Kata yang Bebas
Kedai kopi tempat saya duduk menikmati kopi, termasuk salah satu tempat favorit nongkrong di Jakarta. Tempatnya cozy, dan memberi semilir angin kalau memilih duduk di luar. Kalau sore bukan di akhir pekan, masih agak sepi pengunjung. Asyik, tenang dan nyaman.

Perempuan muda yang duduk di depan saya menyeruput kopinya sebelum memasang handsfree untuk menjawab panggilan telepon. Sosoknya menarik, modern, terlihat cerdas dengan busana casual smart. Sederhana, tapi enak dilihat. Mimik wajahnya agak serius, kepalanya mengangguk-angguk, menyimak pembicaraan.

“Ya di mana-mana.. orang baik sih banyak. Lo pergi kemana juga akan selalu lo temukan orang baik. Di belahan bumi manapun! Tapi orang setia? Hm. Nggak ada yang menemukannya. Kalau lo tau, lo bibit unggul, ya lo nggak akan buang sperma lo sembarangan, kan? Kemaluan lo jangan dibuat murahanlah."

Ha! Ingin rasanya saya meledak dalam tawa mendengar dia berbicara secerdas dan selugas itu, terutama terhadap caranya menyebut alat kelamin pria, yang begitu bebas dan netral. Mantap! Dan saya juga ingin menuliskannya secara utuh tidak terikat tabu atau menggantinya dengan Grawlix (simbol seperti: **@#$%&!).


Sandiwara dan Topeng
Laki-laki muda yang berjalan cepat memasuki bis transjakarta duduk di sebelah saya. Segera bis menjadi penuh sesak. Laki-laki tersebut pakai baju batik, celana bahan hitam, tas ransel yang segera dipangkunya, dan sibuk ngomong di hape soal Alkitab.

“Ya pokoknya bagus deh materinya. Soal manfaat Alkitab, fungsinya, bagaimana kita memahami Alkitab...”

Dan saya masih mendengar dia berbicara soal Alkitab, sampai beberapa menit kemudian. Segaris lurus ke depan, mata saya menangkap seorang bapak tua dengan uban yang sudah terlihat banyak, badannya jangkung kurus dan agak ringkih, berdiri dengan dua tangan memegang tempat pegangan. Kantung plastik putih bertuliskan “Apotik” dijepit di antara jarinya. Mata saya menjelajah. Di deretan bangku tempat saya duduk, tampaknya saya satu-satunya wanita. Di deretan bangku di depan saya, duduk berderet wanita dan pria muda. Tidak satu pun yang bergerak berdiri. Saya mencolek tulang belakang sang bapak, untuk memberinya kode agar duduk di bangku saya. “Terimakasih..” ujarnya dengan nafas yang sedikit terengah. Halte tujuan saya masih jauh, tapi saya senang bisa memberinya tempat duduk. Saya percaya, ketika kita berbuat baik, maka sebenarnya kita sedang berdoa...dan baca Alkitab juga! Berbuat baik itu mudah anak muda, jangan pelit! Malu dong sama duri lunakmu.


Pikiran Liar
Suatu hari, teman mengungkapkan argumennya, dan alasan mengapa ia tidak merasa terpanggil menjadi aktivis gereja.

“Kegiatan gereja, aktivitas mengatur liturgi musti begini dan begitu, semua hal yang tidak terlalu hakiki dan sejati, itu tidak cocok buat kita. Kita ini penulis. Kebanyakan penulis memiliki pikiran liar yang selalu ingin mengupas sesuatu hal secara mendalam. Dan ketika kita kritis namun tetap beriman dengan cara yang berbeda, orang-orang seperti kita ini pada akhirnya akan dianggap sesat.”

Lalu dia mengajukan pertanyaan, yang sepenuhnya tidak dapat saya jawab kecuali memberinya diam.

“Menurut Mbak, pernah nggak sih Yesus itu mimpi basah? Kan, dia itu manusia sejati dari dan dengan benih ilahi, dan selama di bumi, dia hidup seperti kita dan merasakan semua hal yang kita rasakan..”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar