Setia Bukan Kata yang Bebas
Kedai kopi tempat saya duduk
menikmati kopi, termasuk salah satu tempat favorit nongkrong di Jakarta.
Tempatnya cozy, dan memberi semilir angin
kalau memilih duduk di luar. Kalau sore bukan di akhir pekan, masih agak sepi pengunjung. Asyik,
tenang dan nyaman.
Perempuan muda yang duduk di
depan saya menyeruput kopinya sebelum memasang handsfree untuk menjawab panggilan telepon. Sosoknya menarik,
modern, terlihat cerdas dengan busana casual
smart. Sederhana, tapi enak dilihat. Mimik wajahnya agak serius, kepalanya mengangguk-angguk, menyimak
pembicaraan.
“Ya di mana-mana.. orang baik sih banyak. Lo pergi kemana juga akan
selalu lo temukan orang baik. Di belahan bumi manapun! Tapi orang setia? Hm.
Nggak ada yang menemukannya. Kalau lo tau, lo bibit unggul, ya lo nggak akan
buang sperma lo sembarangan, kan? Kemaluan lo jangan dibuat murahanlah."
Ha! Ingin rasanya saya meledak
dalam tawa mendengar dia berbicara secerdas dan selugas itu, terutama terhadap
caranya menyebut alat kelamin pria, yang begitu bebas dan netral. Mantap! Dan
saya juga ingin menuliskannya secara utuh tidak terikat tabu atau menggantinya
dengan Grawlix (simbol seperti: **@#$%&!).
Sandiwara dan Topeng
Laki-laki muda yang berjalan
cepat memasuki bis transjakarta duduk di sebelah saya. Segera bis menjadi penuh
sesak. Laki-laki tersebut pakai baju batik, celana bahan hitam, tas ransel yang
segera dipangkunya, dan sibuk ngomong
di hape soal Alkitab.
“Ya pokoknya bagus deh materinya. Soal manfaat Alkitab, fungsinya,
bagaimana kita memahami Alkitab...”
Dan saya masih mendengar dia
berbicara soal Alkitab, sampai beberapa menit kemudian. Segaris lurus ke depan,
mata saya menangkap seorang bapak tua dengan uban yang sudah terlihat banyak, badannya
jangkung kurus dan agak ringkih, berdiri dengan dua tangan
memegang tempat pegangan. Kantung plastik putih bertuliskan
“Apotik” dijepit di antara jarinya. Mata saya menjelajah. Di deretan bangku tempat saya duduk, tampaknya
saya satu-satunya wanita. Di deretan bangku di depan saya, duduk berderet
wanita dan pria muda. Tidak satu pun yang bergerak berdiri. Saya mencolek
tulang belakang sang bapak, untuk memberinya kode agar duduk di bangku saya.
“Terimakasih..” ujarnya dengan nafas yang sedikit terengah. Halte tujuan saya
masih jauh, tapi saya senang bisa memberinya tempat duduk. Saya percaya, ketika
kita berbuat baik, maka sebenarnya kita sedang berdoa...dan baca Alkitab juga! Berbuat
baik itu mudah anak muda, jangan pelit! Malu dong sama duri lunakmu.
Pikiran Liar
Suatu hari, teman mengungkapkan
argumennya, dan alasan mengapa ia tidak merasa terpanggil menjadi aktivis
gereja.
“Kegiatan gereja, aktivitas
mengatur liturgi musti begini dan begitu, semua hal yang tidak terlalu hakiki
dan sejati, itu tidak cocok buat kita. Kita ini penulis. Kebanyakan penulis
memiliki pikiran liar yang selalu ingin mengupas sesuatu hal secara mendalam.
Dan ketika kita kritis namun tetap beriman dengan cara yang berbeda,
orang-orang seperti kita ini pada akhirnya akan dianggap sesat.”
Lalu dia mengajukan pertanyaan,
yang sepenuhnya tidak dapat saya jawab kecuali memberinya diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar