30 September 2014

Branding, Memberi Jawaban Plus Pengalaman




Karena jawaban memerlukan pertanyaan...

Ribuan tahun lalu seorang bijak pernah menulis, bahwa pengetahuan akan semakin bertambah dan manusia akan (semakin) menyelidikinya. Kehidupan kita dengan teknologi dan kawan-kawannya kini menggenapi itu, dan akan semakin memberikan hasil penyelidikan baru di masa depan. Bahkan untuk banyak bidang; komunikasi, kesehatan, transportasi, konstruksi, pangan. Banyak, dan akan semakin banyak.

Contoh paling simpel adalah Apple.

Pertanyaan awalnya adalah,
“Jadi, cuma segini aja nih gadget? Cuma sekadar pencat-pencet keypad dan tidak lebih dari itu?”

Lalu Apple menjawabnya, dan voila! Kehadirannya memberikan kita lebih dari sekadar pengalaman baru dalam berteknologi dan berkomunikasi. Layar sentuh dengan sirkuit mutakhir di dalamnya membuat “manusia” tidak merasa pernah mati gaya. Dan karenanya, jika kita menyebut nama Apple, atau melihat produk dengan logo bergambar buah apel digigit sedikit, persepsi atau asosiasi kita akan mengarah pada: teknologi, canggih, gadget, eksklusif, mahal, prestis, dan seterusnya. Itulah brand.

Brand, (menurut saya), sesuatu yang kita pikirkan saat melihat, mengetahui, mengenal bahkan mungkin menggunakan sebuah produk atau merek dagang. “Kemelekatan” yang terdapat pada merek tersebut. Atau dengan kata lain, persepsi kita mengenai sebuah merek; baik itu identitas yang terlihat, citra yang terungkap, atau pun nilai dan manfaat yang kita yakini terhadap merek tersebut apabila kita terhubung dengannya.

Lalu branding?

Proses awalnya adalah dengan menjawab pertanyaan dan memberi pengalaman. Proses penajaman persepsi atau “kemelekatan” itu, itulah branding. Pertanyaan dan pengalaman siapa yang perlu dijawab? Pertanyaan dan pengalaman kita; target pasar, kostumer potensial, atau calon kostumer.

Contohnya adalah kosmetik Wardah.

Beberapa waktu lalu muncul isu penting dalam industri kosmetik atau tata rias wajah. Disinyalir, banyak kosmetik terutama lipstik terkenal buatan luar yang menggunakan bahan-bahan yang diharamkan bagi kaum muslim. Jadi muncul pertanyaan,

“Ada nggak sih kosmetik yang halal? Bukan sekadar berlabel “halal” tetapi benar-benar terbuat dari bahan yang halal dan diperuntukkan bagi perempuan muslim?”

Wardah menjawabnya di momentum yang tepat. Pesannya jelas. Tampil cantik bukan perbuatan amoral, dan disukai banyak orang karena cantik juga bukan tindakan asusila. Maka brand-nya berasosiasi dengan kosmetik buat perempuan muslim (Asia) yang modern, merawat diri, tampil chic dan enak dilihat, sekalipun auratnya tertutup. Karena aurat tertutup, otomatis area wajahlah yang (bisa) diperkuat untuk menampilkan pesona diri. Endorsernya pun dipilih untuk membentuk dan mengangkat karakter perempuan muslim yang santun, tidak munafik, smart, wajar, dan jauh dari pergunjingan.

Dulu, kehalalan pada kosmetik tidak dianggap penting. Tapi semakin banyak orang menyerap nilai-nilai keyakinan (agama) yang dianutnya dan itu menjadi pakem dalam keputusan sehari-hari mengenai apa yang akan dimakan, apa yang digunakan, apa yang dikerjakan dan lain-lain, “kosmetik halal” menjadi punya tempat kuat, dan pas di ruang pasar yang sudah ada. Kemelekatannya, atau atributnya jadi semakin jelas. Dan dari proses branding tersebut, (yang memerlukan waktu dan ketahanan panjang serta konsistensi) memberi posisi baru (product positioning) bahwa Wardah, produk lokal yang banyak disukai, banyak digunakan, terjangkau dan halal. 

Awalnya, saya pakai lipstik buatan luar. Mahal dan rasanya memang empuk di bibir. Ketika saya menggunakan Wardah, saya mendapatkan “citarasa” yang sama di bibir saya, dan yang paling penting tidak mahal. Pengalaman ini cenderung menggiring kostumer untuk memutuskan menggunakannya lagi. Dan semakin kuat jika itu bersinggungan dengan logika dan realita. Dengan seratus ribu saya cuma dapatkan satu item produk kosmetik, sementara dengan merek yang lain dengan kualitas dan nominal yang sama, saya dapatkan dua item produk kosmetik. Dan akhirnya, target pasarnya (Wardah) menjadi lebih luas; mendapatkan tempat dan digunakan juga oleh perempuan non muslim.

Memang tidak ada ide yang orisinil dalam dunia brand dan branding. Semua merupakan hasil dari adopsi dan inovasi, yang berawal dari menjawab pertanyaan dan memberi pengalaman. Kekuatan menjawab dan memberi pengalamanlah yang membedakannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar