25 Agustus 2014

Terus Jalan atau Makan di Pinggir Jalan?



Saya punya satu perumpamaan sederhana, yang tidak sederhana. Saya menyampaikan ini kepada banyak teman saya. Begini:

Kamu punya kuda hitam yang gagah berpacu, kulitnya bercahaya, ulet-gesit, energik dan selalu menjadi andalan kemana pun kamu pergi. Kamu adalah pendekar berkuda hitam. Suatu saat, kamu dan kudamu harus mencapai garis finish (garis akhir), dan di sana, ada sebuah pohon besar yang rindang dengan hamparan rumput yang hijau segar, dan nyaman.

Di tengah-tengah kamu mau mencapai garis finish –yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi (di jarak yang hanya tinggal sedikiiit lagi), tiba-tiba, kudamu mandeg! Ia tak mau berpacu lagi, bahkan berhenti berjalan, menoleh ke sebelah kiri, ingin memakan rumput yang dilihatnya di jalan raya yang kamu dan kudamu lewati. Padahal, ada tersedia rumput hijau segar sebentar lagi, dan masalahnya, kamu dan kudamu adalah satu kesatuan yang harus mencapai garis finish bersama!

Apa yang akan kamu lakukan?
Memaksanya (membujuknya) untuk terus berjalan sampai garis finish, atau mengijinkankannya makan rumput di jalan, yang dia lihat?

Sebagian dari teman menjawabnya dengan berfilosofi, memperluas pandangannya sampai menyentuh ke soal kehidupan dan jagat raya, sehingga ketajaman jawabannya menjadi agak kabur dan mengawang. Padahal, saya cuma menanyakan, apa yang akan dilakukan jika situasinya seperti itu? Apa yang diputuskan jika kondisinya seperti itu? Hanya itu, dan itu sangat spesifik.

Namun yang menarik, teman-teman yang masih berstatus lajang, lebih banyak menjawab, “memaksa” si kuda untuk terus berjalan sampai garis finish meskipun tidak dengan kecepatan semula. Sementara teman-teman yang sudah menikah menjawab, “mengijinkan si kuda makan rumput di jalan.” Meskipun ada juga teman-teman lajang yang menjawab, "memberi ijin si kuda makan."

Perbedaan jawaban tersebut, bisa jadi, karena faktor psikologis berbicara di sana. Kaum lajang, yang notabene para pekerja ini, dan masih berorientasi pada karir dan pencapaiannya, memandang “FOKUS” menjadi sikap yang harus dikedepankan dalam meraih pencapaian. Dan tampaknya itu mendasari jawaban mereka. “Tanggung, sebentar lagi sampe”, kata salah seorang teman. Yang lain lagi berkata, "Kuda itu harus nurut apa kata majikan. Bukan terbalik. Jadi harus lanjut jalan sampai tujuan. Biasalah kalo tergoda mah, rumput tetangga jauh lebih hijau tapi tidak akan lama."

Sementara mereka yang sudah menikah, lebih bersikap rileks dalam memandang situasi tersebut, sehingga mereka memilih untuk mengijinkan si kuda makan. Mereka mengasosiasikan “makan rumput” sebagai pemenuhan kebutuhan jiwa (spirit).

Jadi, jika spirit (dalam jiwa) tidak sedang sinkron dengan akal budi mengenai sesuatu di depan, perspektif seperti apa yang dibutuhkan? Memenangkan jiwa atau mengalahkan akal budi? Mengedepankan akal budi atau mengabaikan jiwa? Mana yang lebih utama? Mana yang lebih praktis? Ini soal godaan, atau beneran soal fokus ke depan? Silakan punya pilihan. Selalu ada jawaban di jalan perjuangan.





#kudahitam #billeam
Yosua 1:7-8 Tidak ada ketaatan tanpa sakit, tidak ada kemenangan tanpa lelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar