the law is the public conscience ~ Thomas Hobbes gambar: jakarta.okezone.com |
Hari ini, 4 September diperingati sebagai Hari Pelanggan Nasional.
Pelanggan.
Banyak sudut pandang mengenai definisi pelanggan,
tergantung dari bentuk hubungan yang mengikat dan memaknainya. Itu bisa
berarti, orang yang memberikan pandangan terhadap baik buruknya pelayanan, bisa
juga orang yang menjalin hubungan secara tetap dengan pengelola jasa
(pelayanan). Dan jargon yang paling populer mengenai pelanggan; pelanggan adalah raja.
Kalau begitu, kita, publik, rakyat biasa atau masyarakat
awam ini, bisa dong disebut sebagai pelanggan, karena kita menjalin dan
membangun hubungan tetap (bahkan mengikat) dengan suatu pengelola pemerintahan
yang kita sebut negara. Jadi kita adalah pelanggan pemerintah RI (yang diwakilkan
oleh banyak institusinya) dalam menjalankan pemerintahan di sebuah negara
bernama Indonesia.
Baiklah, sebagai pelanggan, tentu kita berhak
memberikan penilaian terhadap pelayanan wakil-wakil kita, (abdi-abdi kita)
dong. Ya kan? Karena kita sebagai pelanggan juga punya andil dalam bentuk membayar pajak. Nah, respon pelanggan terhadap
kinerja pelayanan di sektor hukum, (dalam konteks yang seluas-luasnya)
ternyata mencapai derajat keluhan paling tinggi khususnya di Hari Pelanggan
Nasional ini. Pasalnya, vonis hukuman yang dijatuhkan hakim tipikor kepada banyak terdakwa kasus korupsi, termasuk kasus simulator SIM, terlampau ringan. Hanya 10 tahun
saja dengan kewajiban denda sebesar 500 juta rupiah. Dan masih akan
banding pula. Padahal kasusnya mbleber kemana-mana, sampai media luar negeri juga
tahu. Tapi ending-nya? Sangat tidak memuaskan pelanggan dan mengoyak-ngoyakkan rasa keadilan publik.
Apa kata pelanggan tentang itu, di hari pelanggan
ini?
Beragam! Bahkan pemirsa televisi dalam acara
Editorial Media Indonesia Metro TV (Rabu, 4/9) mengatakan, sudah saatnya diberlakukan
hukuman mati bagi koruptor, kalau tidak mau peradilan rakyat turun ke jalan!
Dalam akun twitternya, presenter Metro TV Prita
Laura ngetwit: Di Dubai, koruptor wajib kembalikan seluruh kerugian negara dan
dipenjara sampai lunas, jika meninggal diteruskan pada ahli waris. Keadilan
sederhana.
KPK juga bilang, itu putusan yang belum monumental.
Jelas anti klimaks.
Ini dia kata peneliti UGM: Pasca reformasi yang bergulir 15 tahun lalu, dari
total kerugian negara gara-gara korupsi yang mencapai Rp. 168, 19 triliun
sepanjang 2012, hanya Rp. 15,09 triliun (!) yang dikembalikan kepada negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar