angle--batang pohon Pantai Ngandong, Gunung Kidul, Yogyakarta Foto: Purnawan Kristanto (26/12/12) |
Akhir-akhir ini, kemarau datang terlambat. Seperti salah, atau mungkin sengaja bertukar tempat. Waktunya hujan yang datang panas. Yang diharap basah, yang muncul kering. Tidak sinkron. Tidak biasa. Tidak pada tempatnya. Anomali cuaca.
Yah, mirip-miriplah dengan para petinggi
negeri kita. Tanda tangannya justru berbuah anomali kebijakan yang tidak paham persoalan. Apalagi mengerti keadaan. Sepertinya mungkin ada salah tempat di sana. Bukan pemikir yang duduk di deretan
singgasana, tapi politisi yang menjadi corong telinga pengusaha. Hasilnya, ya
bikin galau semua. Pemimpin di mana, rakyat ke mana. Bapak ke kiri, kami ke
kanan. Sana-sini, dan selalu, jiwa kami dibikin kering.
Kami bertanya kapan harga segala bumbu
dapur lekas turun, eh, dijawab dengan kenaikan bbm.
Kami minta kedelai murah, eh malah diberi mobil murah. Siapa tuli, siapa mendengar? Garing. Dan lagi-lagi kering.
Kami minta kedelai murah, eh malah diberi mobil murah. Siapa tuli, siapa mendengar? Garing. Dan lagi-lagi kering.
Padahal yang kami tahu, ibu
pertiwi kami itu melimpah ruah susu dan madunya. Tubuhnya molek dan subur, jadi
incaran bangsa-bangsa. Tapi herannya, banyak anaknya yang masih megap-megap
hidup, berharap bisa menghirup.
Ibu, terlalu lama engkau merana
karena suamimu adalah (pemberi) duka. Batin kami kering, karena bapak kami
berpaling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar