If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales ― Albert Einstein
Albert Einstein bilang begitu, mungkin karena ia bertumbuh dengan banyak kegiatan mendongeng (telling tales) di masa kecilnya, sehingga imaginasinya membawanya sebagai salah satu warga dunia yang membuat
sejarah dan apa yang dihasilkan dari pemikirannya masih berguna sampai sekarang.
Kegiatan bercerita atau menceritakan dongeng memberi begitu
banyak manfaat dalam pertumbuhan anak, karena melalui kegiatan itu, anak
mengembangkan daya nalarnya, kemampuan berpikir logisnya, kemampuan
mengemukakan sesuatu; bertanya, menjawab, menyanggah, beropini, menjelaskan,
menceritakan kembali, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan
(keterampilan) berbahasa dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal.
Dari sisi emosi, anak belajar untuk mengembangkan sikap empati, dan kecerdasan emosi. dari aspek spiritual, anak bisa belajar
mengembangkan iman dengan cara-cara yang sederhana dan mendapatkan teladan iman
dari tokoh yang diceritakan. Melalui cerita dan imaginasinya, anak juga
mengembangkan dan memelihara harapan, serta memperkuat sauh batiniahnya. Penelitian di Universitas Florida, mengungkap, bahwa kegiatan mendongeng selain memperat keintiman orangtua-anak, kegiatan tersebut juga membantu mengembnagkan kemampuan emosi anak.
http://www.sciencedaily.com/releases/2013/03/130327103054.htm
http://www.sciencedaily.com/releases/2013/03/130327103054.htm
Sayangnya, ketimbang mendongeng, banyak orang tua (kelas menegah), yang
justru terlalu dini memperkenalkan anak kepada teknologi terkini, yang akrab
dengan sebutan gadget; dan yang paling mutakhir, Ipad (tablet layar sentuh). Alasannya, selain karena waktu, (tanpa disadari) karena orang dewasa (orangtua) sudah demikian terjebak pada
perkara pengukuran. Satuan pengukuran.
Keseharian kita memang akrab dengan ukuran;
Yang penting kualitas, bukan kuantitas. Yang
penting hasilnya, bukan proses. Tampilan luar nggak penting, yang penting
dalamnya. Cantik ideal itu, kulit putih berseri..bla..bla..bla. Yang penting
ini-nya, bukan itu-nya. Yang penting begitu bukan begini. Semua...pakai
pengukuran! Dan dari semua ukuran itu, uang adalah ukuran (mungkin
satu-satunya) yang paling tren, diminati dan makin melekat pada hati manusia,
hati orang dewasa. Ukuran tentang pertumbuhan dan nilai pribadi? Hm, itu
belakangan, atau mungkin malah terabaikan. Hasilnya, ketika anak (dengan
sengaja atau tidak sengaja) (di) masuk (kan) dalam dunia kompetisi, hasil
akhirnya―sepanjang yang saya
perhatikan―adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kebendaan (materi), pengukuran. Contoh konkritnya
adalah gadget canggih. Smartphone. Dan
mungkin sebentar lagi adalah robot yang bisa berbicara seperti manusia. Anak
terdorong untuk unggul dalam kompetisi karena konsep-konsep yang dirancang oleh
orangtuanya sendiri, bukan karena sesuatu yang lahir dari dirinya sendiri sehingga
soal pengukuran juga menjadi perkara yang masuk dalam dunia pikir anak.
Akhirnya, konsep-konsep keunggulan berubah menjadi seperti
konsep-konsep dalam sales
(penjualan), mengejar target yang ujungnya materi, bukan sesuatu yang berangkat
dari ketulusan dan kemauan untuk menjadi unggul dan terdepan karena digerakkan
oleh sesuatu yang murni dari dirinya untuk hasil yang murni juga. Semua
dilakukan atas nama (penghargaan) reward.
Sah-sah saja, tapi penghargaan (reward)
yang tidak bijaksana justru akan menjerumuskan anak ke dalam sifat egosentris
(mementingkan diri sendiri),
hedonis (keduniawian), materialisme (kebendaan), konsumtif dan pengukuran! Bentuknya bisa dalam hal kecil, menuliskan atau memamerkan sesuatu (di sosial media), yang berasosiasi dengan pengukuran.
Nenek
teman saya terpaksa harus membatasi pemakaian Ipad kepada cucunya yang masih di
sekolah dasar. Saking ketagihan bermain tablet layar sentuh berjam-jam tanpa
henti, tengkuk lehernya mengalami cedera otot, bahkan kemampuannya dalam
menulis (terutama memegang pensil), dan berbicara menjadi sangat minim, dan kesadarannya terhadap lingkungan sekitar pun menurun.
Coba bayangkan, apa yang akan dipelajari dan
didapat oleh anak (anak) apabila disodorkan sesuatu yang berbeda. Bukan melulu
teknologi canggih dan pergi ke luar negeri.
Lebih banyak mengunjungi dan mengutamakan tempat-tempat
di negerinya sendiri―Indonesia― saat mengisi liburan sekolah,
akan memberi segudang pengalaman seru yang memberikan pengetahuan budaya dan banyak hal.
Seperti ke Tana Toraja misalnya, atau Danau Toba di
Sumatera, Lereng Merapi dan kehidupan warga di sana, di sekitar Gunung Kidul, Yogyakarta,
yang anak-anaknya akrab dengan kegiatan membatik dan membuat corak-corak batik
yang mewakili ekspresinya sebagai warga yang pernah bersinggungan dengan
bencana. Atau Subak, di Jatiliwuh, Bali. Mengapa sawah dibuat undak-undakan
seperti itu. Hal-hal ini akan menggugah kesadaran dan kecintaan anak akan tanah
air, menstimulasi imaginasinya, bahkan melatih kemampuan berpikir dan mengelola
sehingga mereka siap dan mau berbuat sesuatu bagi perubahan yang lebih baik
bagi bangsanya, Indonesia. Bahkan, anak bisa belajar menjadi pribadi-pribadi
yang memiliki pengukuran berbeda; lebih kepada nilai-nilai manusia
(kemanusiaan), kepekaan terhadap lingkungan dan penghormatan kepada kehidupan, terutama
Pencipta-nya. Itu namanya spiritualitas yang melampaui agama.
Pemimpin-pemimpin (negarawan-negarawan) dunia yang
inspiratif tidak berangkat dengan pengukuran yang dangkal. Mereka menciptakan bangsa. Kiranya, anak-anak Indonesia
menjadi generasi cahaya yang membawa Indonesia kepada bentukan yang menjadi dambaan, sebagaimana seharusnya..
Benih jauh lebih penting daripada bunganya.
#Selamat Hari Anak Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar