23 Juli 2013

Generasi Cahaya



If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales  Albert Einstein


Albert Einstein bilang begitu, mungkin karena ia bertumbuh dengan banyak kegiatan mendongeng (telling tales) di masa kecilnya, sehingga imaginasinya membawanya sebagai salah satu warga dunia yang membuat sejarah dan apa yang dihasilkan dari pemikirannya masih berguna sampai sekarang.

Kegiatan bercerita atau menceritakan dongeng memberi begitu banyak manfaat dalam pertumbuhan anak, karena melalui kegiatan itu, anak mengembangkan daya nalarnya, kemampuan berpikir logisnya, kemampuan mengemukakan sesuatu; bertanya, menjawab, menyanggah, beropini, menjelaskan, menceritakan kembali, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan (keterampilan) berbahasa dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal.

Dari sisi emosi, anak belajar untuk mengembangkan sikap empati, dan kecerdasan emosi. dari aspek spiritual, anak bisa belajar mengembangkan iman dengan cara-cara yang sederhana dan mendapatkan teladan iman dari tokoh yang diceritakan. Melalui cerita dan imaginasinya, anak juga mengembangkan dan memelihara harapan, serta memperkuat sauh batiniahnya. Penelitian di Universitas Florida, mengungkap, bahwa kegiatan mendongeng selain memperat keintiman orangtua-anak, kegiatan tersebut juga membantu mengembnagkan kemampuan emosi anak.
http://www.sciencedaily.com/releases/2013/03/130327103054.htm

Sayangnya, ketimbang mendongeng, banyak orang tua (kelas menegah), yang justru terlalu dini memperkenalkan anak kepada teknologi terkini, yang akrab dengan sebutan gadget; dan yang paling mutakhir, Ipad (tablet layar sentuh). Alasannya, selain karena waktu, (tanpa disadari) karena orang dewasa (orangtua) sudah demikian terjebak pada perkara pengukuran. Satuan pengukuran.

Keseharian kita memang akrab dengan ukuran;
Yang penting kualitas, bukan kuantitas. Yang penting hasilnya, bukan proses. Tampilan luar nggak penting, yang penting dalamnya. Cantik ideal itu, kulit putih berseri..bla..bla..bla. Yang penting ini-nya, bukan itu-nya. Yang penting begitu bukan begini. Semua...pakai pengukuran! Dan dari semua ukuran itu, uang adalah ukuran (mungkin satu-satunya) yang paling tren, diminati dan makin melekat pada hati manusia, hati orang dewasa. Ukuran tentang pertumbuhan dan nilai pribadi? Hm, itu belakangan, atau mungkin malah terabaikan. Hasilnya, ketika anak (dengan sengaja atau tidak sengaja) (di) masuk (kan) dalam dunia kompetisi, hasil akhirnya―sepanjang yang saya perhatikan―adalah sesuatu yang berhubungan dengan kebendaan (materi), pengukuran. Contoh konkritnya adalah gadget canggih. Smartphone.  Dan mungkin sebentar lagi adalah robot yang bisa berbicara seperti manusia. Anak terdorong untuk unggul dalam kompetisi karena konsep-konsep yang dirancang oleh orangtuanya sendiri, bukan karena sesuatu yang lahir dari dirinya sendiri sehingga soal pengukuran juga menjadi perkara yang masuk dalam dunia pikir anak.

Akhirnya, konsep-konsep keunggulan berubah menjadi seperti konsep-konsep dalam sales (penjualan), mengejar target yang ujungnya materi, bukan sesuatu yang berangkat dari ketulusan dan kemauan untuk menjadi unggul dan terdepan karena digerakkan oleh sesuatu yang murni dari dirinya untuk hasil yang murni juga. Semua dilakukan atas nama (penghargaan) reward. Sah-sah saja, tapi penghargaan (reward) yang tidak bijaksana justru akan menjerumuskan anak ke dalam sifat egosentris (mementingkan diri sendiri), hedonis (keduniawian), materialisme (kebendaan), konsumtif dan pengukuran! Bentuknya bisa dalam hal kecil, menuliskan atau memamerkan sesuatu (di sosial media), yang berasosiasi dengan pengukuran.

Nenek teman saya terpaksa harus membatasi pemakaian Ipad kepada cucunya yang masih di sekolah dasar. Saking ketagihan bermain tablet layar sentuh berjam-jam tanpa henti, tengkuk lehernya mengalami cedera otot, bahkan kemampuannya dalam menulis (terutama memegang pensil),  dan berbicara menjadi sangat  minim,  dan kesadarannya terhadap lingkungan sekitar pun menurun.

Coba bayangkan, apa yang akan dipelajari dan didapat oleh anak (anak) apabila disodorkan sesuatu yang berbeda. Bukan melulu teknologi canggih dan pergi ke luar negeri.

Lebih banyak mengunjungi dan mengutamakan tempat-tempat di negerinya sendiri―Indonesia― saat mengisi liburan sekolah, akan memberi segudang pengalaman seru yang memberikan pengetahuan budaya dan banyak hal.

Seperti ke Tana Toraja misalnya, atau Danau Toba di Sumatera, Lereng Merapi dan kehidupan warga di sana, di sekitar Gunung Kidul, Yogyakarta, yang anak-anaknya akrab dengan kegiatan membatik dan membuat corak-corak batik yang mewakili ekspresinya sebagai warga yang pernah bersinggungan dengan bencana. Atau Subak, di Jatiliwuh, Bali. Mengapa sawah dibuat undak-undakan seperti itu. Hal-hal ini akan menggugah kesadaran dan kecintaan anak akan tanah air, menstimulasi imaginasinya, bahkan melatih kemampuan berpikir dan mengelola sehingga mereka siap dan mau berbuat sesuatu bagi perubahan yang lebih baik bagi bangsanya, Indonesia. Bahkan, anak bisa belajar menjadi pribadi-pribadi yang memiliki pengukuran berbeda; lebih kepada nilai-nilai manusia (kemanusiaan), kepekaan terhadap lingkungan dan penghormatan kepada kehidupan, terutama Pencipta-nya. Itu namanya spiritualitas yang melampaui agama.

Pemimpin-pemimpin (negarawan-negarawan) dunia yang inspiratif tidak berangkat dengan pengukuran yang dangkal. Mereka menciptakan bangsa. Kiranya, anak-anak Indonesia menjadi generasi cahaya yang membawa Indonesia kepada bentukan yang menjadi dambaan, sebagaimana seharusnya..

Benih jauh lebih penting daripada bunganya.

#Selamat Hari Anak Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar