Lukisan RI, Kompas Minggu, 13 Januari 2013, hal. 12 |
namanya ranum.
ia melukis semut dan ulat keket yang berhadapan muka
di bawah ranting yang belum kering
entah apa yang ia tulis tentang mereka
ia juga melukis burung-burung yang terbang,
di atas laut yang penuh ikan
rindu untuk kembali pulang
dalam naungan yang aman…
usianya masih sangat muda, ketika yang berharga darinya,
warna-warni belianya, dijajah..
oleh ayah yang tak lagi menjadi bingkai jiwa
sampai akhirnya semua tak lagi bernyawa
menyisakan luka menganga
yang tak memberi jawab kepada mengapa
menyisakan luka menganga
yang tak memberi jawab kepada mengapa
seketika, semua ibu berduka
berkumpul di pusat kota
membawa api lilin dengan hati penuh air mata
berteriak dalam sunyi, berdarah-darah menjaga
agar pelita milik pusakanya tetap menyala
dan surga membuka telinga
berkumpul di pusat kota
membawa api lilin dengan hati penuh air mata
berteriak dalam sunyi, berdarah-darah menjaga
agar pelita milik pusakanya tetap menyala
dan surga membuka telinga
sekejap, dunia orang dewasa membicarakannya
putih-hitam, abu-abu, kelakar dan marah mewarnai kisah tentangnya
putih-hitam, abu-abu, kelakar dan marah mewarnai kisah tentangnya
dunia tak pernah sama,
sedikit ramah, apalagi indah
kepada anak-anak yang tak dianggap pusaka berharga bagi keluarga
sedikit ramah, apalagi indah
kepada anak-anak yang tak dianggap pusaka berharga bagi keluarga
semua berubah rimba
dan manusia menjadi pemangsa sesama
dan manusia menjadi pemangsa sesama
“tetaplah bercahaya, jangan padamkan pelitamu, nak”
menara pengawas bersuara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar