17 Januari 2013

Ciliwung Jangan Ditikung



Semua berawal dari sungai.

Ada kota ada sungai..
Tidak ada kota di belahan dunia manapun, baik di Asia, Eropa, Amerika, Afrika, yang tidak dilalui sungai. Sungai, selalu sudah lebih ada jauh sebelum sebuah kota dibangun.


  • Kualalumpur, dengan sungai Klang.
  • Singapura, sungai Singapura.
  • Paris punya Seine. London dilalui Thames.
  • Sydney dengan sungai Sydney.
  • Saigon atau Ho Chi Minh dilalui sungai Saigon.
  • Jakarta, juga punya sungai Ciliwung.

Semua kota internasional ini punya sungai yang mengalir di tengah-tengahnya. 

Jakarta juga kota internasional. Salah satu indikatornya adalah tas belanja. Perhatikan tas belanja atau iklan di majalah dari butik-butik atau barang bermerek internasional. Barang yang sudah dibeli akan dimasukkan ke tas belanja yang di bagian bawahnya tertulis: London – New York – Tokyo – Paris – Jakarta. Itu berarti, barang bermerek internasional itu sudah ada atau bisa didapat di Jakarta. Dengan kata lain, barang tersebut juga sudah punya kantor di Jakarta.

Memang tidak semua sungai di kota internasional di atas terpelihara seperti sungai Singapura, misalnya, atau Seine di Paris. Tapi bahwa sungai membelah dan terbentang bahkan menjadi bagian dari sebuah kota adalah kenyataan yang terdapat di seluruh dunia. Kalau sebuah sungai bisa menjadi panorama elok kota, itu pastilah karena sungai tersebut menjadi acuan, landasan, dan bagian utama, ketika kota hendak dibangun. Sungai menjadi elemen kota yang diajak hidup berdampingan. Hasilnya? Jelas indah, bahkan menjadi icon sebuah kota.

Ketika sungai diikutsertakan keberadaannya dalam pembangunan dan dinamika kota, kehidupan kota tidak akan berhadapan dengan banyak konsekuensi besar. banjir salah satunya.

Pemerintah Hindia Belanda menyadari ini. Sayangnya, ketika pemerintah Belanda angkat kaki dari Indonesia, Ciliwung tidak pernah lagi menjadi bagian dari kehidupan kota, justru malah makin tidak diurus. Tidak ada pemeliharaan berkelanjutan dari estafet kepemimpinan Jakarta selama ratusan tahun. Jakarta sudah berusia 485 tahun lho! Dan lihat wajah Jakarta..
Menyenangkan? Senyum sumringah? Rasanya sih belum. Jauh banget dari itu kalau dilihat dari serinya lingkungan.


Sampah seteru sungai..
Salah satu konsekuensi terbesar dari sungai yang tidak benar-benar 'sengaja' dipelihara adalah sampah yang mengotori permukaannya. Kehidupan di sungai berintegrasi dengan kehidupan kota. Sungai yang bersampah akan menimbulkan efek domino. Wabah penyakit segera akan menjadi tuaiannya.

 
Jakarta dipageri pabrik..
Jakarta dikelilingi oleh kawasan pabrik. 
Pabrik-pabrik ini memproduksi banyak barang yang juga masuk ke Jakarta. Sebagian barang-barang ini menjadi komoditi sehari-hari setiap rumah tangga. Dan setiap rumah tangga, terdiri dari banyak anggota yang belum tentu punya pemahaman mendasar tentang lingkungan. Tentang konsep diri menjadi warga kota. Akibatnya, kita bisa melihat banyak tempat tinggal yang bukan tempat tinggal di bantaran Ciliwung. Hanya di satu tempat? Tidak, tapi di sepanjang sungai. Dari Utara, Selatan, Timur dan Barat.

Kalau pemerintah mulai dengan sangat sengaja memelihara sungai, otorita setempat di wilayah mana pun di Jakarta, tentu tidak harus menyeleksi setiap orang yang akan masuk dan tinggal di Jakarta. Perilaku sadar lingkungan dan konsep diri sebagai warga kota internasional dengan sendirinya berpadanan. Mengapa? Karena segala sesuatu yang akan dibangun di kota, selalu akan melibatkan keberadaan sungai yang mengitarinya.

Semua berawal dari kehidupan sungai. 
Jangan matikan hidupnya. 
Jangan diputus nadinya.

Dan itu, -wawasan lingkungan- mutlak harus menjadi tindakan politik yang dimiliki oleh setiap tampuk kepemimpinan.

Ciliwung, belum terlambat!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar