Malioboro, Yogyakarta, 26 Desember 2012 |
Tidak ada kota yang tidak bergelut dengan dinamika dan
perubahan. Memang, mengelola
perubahan bukan perkara mudah. Siapa pun yang memimpinnya.
Yogyakarta, kota, yang katanya kota pelajar (dan filsafat!) pun tergerus arus
perubahan. Cepat dan pasti.
Di sana, ada kemacetan juga. Jalanan penuh debu dan gas karbon yang
memeningkan kepala. Ada copet juga. Para penjual yang meningkatkan harga tanpa nalar dan logika. Sampah di mana-mana. Kaum lemah yang makin tak berdaya.
Sambil duduk menikmati wedang
ronde di sudut kota, saya melukis di dalam benak tentang Yogyakarta;
Yogyakarta, akan lebih asyik kalau Jalan
Malioboro di sana hanya boleh dilalui oleh sepeda, delman dan becak. Sepanjang trotoarnya dipenuhi sepeda yang
terparkir rapi bukan motor. Trotoarnya ramah bagi pejalan kaki, bukan penuh
dengan tiang-tiang reklame diskon belanja yang bertolak dengan nurani.
Yogyakarta, akan lebih nyaman kalau emperan Malioboro, dan fasilitas transportasi diatur rapi. Ada turis bercerita, kalau ia didustai dengan bermacam cara: Tak diantar ke tujuan semula dengan alasan ban becak bocor, dimintai uang pula untuk menambal bannya. Mematok harga transport delman semaunya, seratus ribu dari Malioboro ke Ambarukmo.
Yogyakarta, akan lebih indah kalau ada festival budaya, atau semacam kreasi seperti Festival Pasadena, yang mendistribusikan promosi tentang sumber daya, produksi atau apa pun tentang keunikan dan keistimewaan kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Hasil bumi, budaya setempat, seni dan cita rasa...Ini, bakal jadi gegap gempita budaya yang menawan. Ini akan menjadi cerita tentang sebuah kota yang memiliki citra kuat.
Yogyakarta, akan lebih indah kalau ada festival budaya, atau semacam kreasi seperti Festival Pasadena, yang mendistribusikan promosi tentang sumber daya, produksi atau apa pun tentang keunikan dan keistimewaan kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Hasil bumi, budaya setempat, seni dan cita rasa...Ini, bakal jadi gegap gempita budaya yang menawan. Ini akan menjadi cerita tentang sebuah kota yang memiliki citra kuat.
Yogyakarta, pasti akan terlihat unik, jika memiliki sebuah kawasan khusus yang mempresentasikan budaya lokal. Atau para mahasiswi yang terlihat seperti Anandi di film Life of
Pi.
Terlalu banyak damba akan Yogyakarta yang selaras dan teratur.
Kepada siapa hendak menggugat tentang visi Yogyakarta nan kian kabur?
Kepada siapa hendak menggugat tentang visi Yogyakarta nan kian kabur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar