20 April 2011

Papandayan: Konsistensi & Konsekuensi




Tentang perjalana
nnya...
Entah kapan mulainya. Mungkin sejak kesasar di hutan gunung Juanda, saya jadi tertarik dengan kegiatan ini. Dan bukan lagi hanya sekadar menikmatinya dari kejauhan, melukis dan mewarnainya dengan krayon-krayon indah masa kecil. Sekarang, saya juga membuat jejak di atas permukaan kulitnya. Jadi pendaki? Nggak juga sih. Namun, tiapkali kegiatan ini dilakukan, banyak pelajaran hidup yang saya terima dari alam. Memang, tidak serta merta tersuguhkan, melainkan melalui proses mengamati dan menyerap. Observed and absorbed. Buat saya, pendakian adalah perjalanan jiwa-raga. Batin dan emosi serasa menempuh jarak ribuan kilometer. Batin, karena banyak perkataan batin yang muncul mengingatkan diri tentang hal-hal yang berharga, tentang sesuatu mengenai perjalanan hidup kita. Emosi, karena masing-masing anggota tim akan memperlihatkan keasliannya, entah itu buruk atau baik.
Kali ini, saya menapaki Papandayan. Ini perjalanan yang tidak mahal. Setiap kami hanya menghabiskan seratus limapuluh ribu rupiah untuk PP-Jakarta-Garut.

Tentang medannya...
Gunung Papandayan berada di Kabupaten Garut, Kecamatan Cisurupan, Jawa Barat. Orang sering mengira gunung ini terletak di Bandung. Jaraknya menurut wikipedia memang hanya sekitar 70 km dari sebelah tenggara kota Bandung. Tingginya 2.622 meter (ada yang menyebut 2.655 meter). Dibandingkan Gede yang pernah saya daki, medan Papandayan cenderung ramah, sangat cocok untuk pendaki pemula, karena bidangnya landai. Meskipun begitu, tanjakan dan medan berat akan tetap ada. Secara keseluruhan, pendakian bisa dinikmati dengan santai.
Sebelum mendaki, di sekitar kompleks pos jaga, sempatkan mengobrol dengan penduduk setempat yang membuka warung nasi, sambil menikmati teh hangat, kopi, nasi goreng atau mie instan. Mereka akan bertutur tentang perkembangan wilayah setempat, cuaca yang ekstrem, ongkos transportasi untuk naik dan turun gunung yang makin mahal, dan banyak hal. Dengarkan, dan patuhi petunjuk-petunjuk alam yang mereka ketahui. Saya mengerti dan bisa sedikit, berbahasa Sunda, jadi, senang rasanya mendengar bahasa ini dituturkan. Keramahan, kehangatan dan penerimaan penduduk setempat, akan membuat (emosi dan langkah) kita terasa ringan saat memulai pendakian.

Kawah-Tegal Alun
Tidak seperti gunung-gunung lain, yang kawahnya baru bisa ditemui setelah kita mendaki jauh menuju puncak. Di Papandayan, kita akan menemui kawah terlebih dahulu. Banyak terdapat kawah di sini, dan sebagian besar masih terlihat "muda". Bahkan di beberapa titik tertentu, saat berjalan, tepat di dalam tanah yang kita pijak, terdengar bunyi gaduh seperti air mendidih dalam dapur peleburan. Saya takjub sekaligus ngeri. Asap di atas kawah sangat kuat. Warnanya putih kekuningan, dan bau belerangnya juga masih menyengat. Jadi, gunakan syal untuk menutupi hidung. Angin yang berhembus sangat kencang, sehingga sesekali saya musti berhenti berjalan, menunggu angin reda, kemudian berjalan lagi, begitu seterusnya. Jalannya memang cuma setapak. Benar-benar setapak. Kadang, kita menemui jejak yang dibuat para pecinta motor gunung. Menyenangkan, apalagi kegagahan alam tampak dekat di mata. Setelah kawah, dan menyusuri turunan, dengan sungai kecil yang mengalir (musti lepas sepatu, karena tinggi air kira-kira 25 cm dari telapak kaki), kami melewati dataran tinggi dengan dua tebing yang mengapit. Ini tempat yang tepat untuk kirim SMS, telepon, atau ngetwit, karena sinyal ponsel benar-benar kuat di sini. Hanya di sini.
Setelah menyusuri jalan bebatuan, tanah becek, turunan, tanjakan, kami sampai di Pondok Salada. Di sinilah kami berkemah. Sejauh mata memandang, hanya ada gunung di sekeliling kami. Karena kami mendaki saat cuaca ekstrem, maka cuaca di malam hari di tempat ini juga sangat ekstrem: angin besar dengan dingin yang sangat mengigit tulang. Suara anginnya seperti desau badai yang bergulung-gulung. Baru kali ini saya menjadi saksi atas kebesaran dan "keganasan" alam. Sekali lagi, ngeri tapi juga takjub.





Esok paginya, ditemani kondensasi sepanjang hari, kami berangkat menuju Tegal Alun. Kami melewati rawa-rawa. (Banyak rawa jebakan di sini. Tanah atau rumput yang tampaknya cetek, ternyata saat diinjak sangat dalam). Setelah itu, kami menanjak memasuki hutan mati dengan tanah putih. Kawasan ini terlihat sangat kontras dengan pemandangan di bawahnya, karena nuansa minimalis yang sangat kentara: hanya ada hitam dan putih. Pohon-pohon yang meranggas hitam berdiri di atas tanah putih. Tidak sulit jalannya, tetapi musti hati-hati karena licin. Setelah menanjak, ―sama seperti saat ke Puncak Gede―kami tiba di Tegal Alun. Kabut menutupi hamparan Edelwies yang sangat luas hingga rasanya tak berbatas. Kami hanya sampai di sini, Tegal Alun, karena untuk menuju puncak, kondisinya terlalu riskan untuk dilalui. Kabut tebal dengan angin kencang dan kondensasi yang tinggi. Yah, kami turun kembali, ternyata, masih dengan semangat yang sama, sampai tiba di Jakarta.

Tentang pelajarannya...
Saya tak paham ilmu cuaca atau pertanda alam lainnya. Sesekali memerhatikan isyarat alam, dan berusaha untuk berlaku bijak karenanya. Jadi, ketika memutuskan untuk ikut mendaki bersama teman-teman, saya berdoa agar Tuhan memberi cuaca cerah, secerah-cerahnya. Dan, itulah yang terjadi. Saya menikmati hangat mentari dengan angin yang sangat kencang. Saat itu, jadwal mendaki memang baru dibuka kembali oleh pihak terkait. Mungkin karena alasan cuaca, saya hanya bertemu empat grup pendaki dengan tujuan yang sama, dan satu grup mahasiswa ITB yang sedang mengikuti kuliah lapangan (jurusan geologi, mungkin). Sepi pendakian. Tapi, saya tetap menikmati cuacanya, sampai seorang teman mengatakan, bahwa kami membutuhkan hujan, meski hanya sedikit hujan, untuk membendung dingin. Karena kalau tidak, cuaca malam hari akan sangat ekstrem. Dingin. Dingin sekali. Dan rasanya, takkan baik untuk berkemah dengan cuaca se-ekstrim itu. Oh, begitu. Saya bergumam dalam hati mengingat doa yang saya panjatkan. Penduduk setempat juga mengatakan hal yang sama. Ini cuaca yang sangat tak terduga. Anginnya sangat kencang, disertai hujan deras. Waduh, saya mulai ciut. Semangat jadi menyurut. Cemen...


Kalau tidak hujan, bersiaplah dengan dingin yang membeku di malam hari. Itu konsekuensinya. Tapi kalau hujan, dingin akan sedikit tereduksi dan malam bisa dilalui dengan nyaman. Tuhan memang tahu yang terbaik buat kami, maka, Dia turunkan hujan. Dan kondensasi pun mewarnai sepanjang perjalanan kami. Mengingat semangat yang menurun, nurani saya menantang, "konsisten nggak kamu?" Konsisten saat memulai, dan menyelesaikannya juga. Kalau hanya sekadar menapaki tanah, mungkin bisa dilakukan. Tapi konsisten menyelesaikan perjalanan dengan "kondisi" hati yang tetap sama, semangat yang sama seperti saat memulai, tanpa keluhan, dan rasa syukur, tiasa nteu?

Ini hanya satu pelajaran remeh tentang cuaca, tentang konsekuensi dan (sikap) konsisten. Konsistensi. Dua kata itu mengiringi langkah saya, sampai akhir perjalanan. Tak usah banyak bicara, tak perlu banyak berteori, entah pemimpin, entah rakyat, karyawan atau majikan, penjual atau pedagang, guru atau murid, politikus atau penguasa, setiap kita, dalam kehidupan sehari-hari, dihadapkan pada dua kata itu: konsekuensi dan konsistensi. Alam konsisten dan memberikan konsekuensi yang berpadanan bagi kehidupan bumi, Tuhan konsisten memberikan yang terbaik, dan itu memberikan konsekuensi tersendiri bagi kemanusiaan kita, kematangan kita. So, bagaimana dengan diri kita? 




Papandayan 1-3 April 2011
foto-foto oleh Sabar Raphael

Tidak ada komentar:

Posting Komentar