24 April 2011

Di Tengah, dan Pernah Galau



Ini, Jumat Agung yang kesekian kalinya.
Dekorasi gereja masih menampilkan nuansa yang itu-itu lagi. Bukit Tengkorak, dengan salib Yesus di tengah ―di antara dua penjahat. Dan pertanyaan ini baru muncul sekarang. Setelah puluhan kali saya berada di momen seperti ini.


Saya terpaku memandang salib yang di tengah.

Pertanyaan yang muncul dari hati saya adalah, kenapa Yesus yang berada di tengah, ya?
Kenapa bukan salah satu penjahat yang ikut di salib bersamanya?
Kenapa saat penyaliban itu terjadi, dua penjahat itu digantung mengapit Yesus?
Pertanyaan tak terduga ini, justru menjadi titik balik iman.


Dua hari lalu, menjelang Jumat Agung, teman saya ngetwit soal Yesus. Dia ngetwit, kira-kira begini: Kalau jaman Yesus dulu ada twitter, pasti Yesus ngetwit, galau..
Twitnya nyelenehnya langsung mengundang protes dari beberapa orang. Mereka memberinya mention, untuk berhati-hati soal Yesus, karena Yesus punya tugas menyelamatkan manusia dari dosa, bukannya sibuk galau di twitter. Dan, teman saya minta maaf karenanya.


Tapi menurut saya, Yesus juga tidak meminta kita untuk "terlalu serius" mengenai sosoknya. Karena ada hal-hal tertentu seputar dirinya yang "tampak" nya mendobrak pandangan-pandangan manusia yang terlalu serius.  Coba pikirkan ini:

  • Lahir dari rahim perempuan yang belum menikah.
  • Katanya lahir sebagai raja, tapi dilahirkan di kandang domba. Memang waktu itu, penginapan tempat ayah ibunya akan menginap sudah penuh, sementara sang bunda sudah pembukaan sepuluh.
  • Gaya berpakaiannya aneh; menyilangkan kain bolong mirip sarung ke jubahnya.
  • Dianggap sebagai penghujat Tuhan karena menyatakan diri sederajat dengan Tuhan.
  • Di dalam dirinya ada tiga persona―Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
  • Janggut dan rambutnya dibiarkan panjang.
  • Menyangkut self branding, ia cuma menggunakan tagline singkat: follow me!
  • Memilih dan mendelegasikan tugas mulia kepada orang-orang tak berpendidikan yang cuma ahli dalam menangkap ikan.
  • Memilih salib―dan di tengah―sebagai jalan kematiannya.
Dan masih banyak lagi bullet point yang menguraikan betapa dirinya bisa serius tapi santai, santai tapi serius, dan...galau! Dan ahya, dia juga sama sekali nggak pernah tertarik dan ribet dengan pencitraan. Pencitraan, itu urusan Bapa-nya. Yesus cuma melakukan tugas dengan cara dan gayanya sendiri. Tapi anehnya, semua lapisan orang, menyukainya. Bahkan anak-anak, sampai berebutan duduk di pangkuannya.

Omong-omong soal galau, kalau Yesus tidak galau di twitter, setidaknya dia pernah galau di Taman Getsemani. Saking galaunya, sampai harus berdoa tiga kali untuk menguatkan hatinya. Lebih dari sekadar galau malah. Galau yang membawanya pada tingkat ketakutan yang sangat dalam, sampai mau mati rasanya. Dan pada akhirnya, galau itu berakhir di kayu salib. Dia mati di sana, digantung, diapit oleh dua penjahat yang sama-sama mendapatkan hukuman yang sama.

Tampak konyol bukan? Mati, di antara kumpulan penjahat besar, dengan hukuman paling mengerikan. Darahnya disedot maut pelan-pelan, nadinya dipaksa untuk diregangkan, tiga titik paku menahan tubuhnya yang tak berbungkus kecuali selembar kain untuk menutupi auratnya, ada mahkota duri di kepalanya, dan tulisan INRI sebagai olok-olok atas jati dirinya. Duh, hina banget. Disalib, di tengah…

Tapi, justru dengan cara itu, dia telah menarik banyak jiwa kepada satu iman yang tidak dapat dideskripsikan, tapi pasti (!) Iman kepada Yesus akan terus menjadi pusat olok-olok dunia karena memang iman jenis ini hanya bisa diterima sebagai anugerah. Bayangkan, ia (iman ini) tidak akan pernah sama dengan logika, keabsahannya dipertentangkan, tidak berbanding lurus dengan benar-salah, sopan atau tidak sopan, namun faktanya, menyelesaikan banyak sekali perkara!

Maka, ketika Yesus menawarkan iman jenis ini kepada salah satu penjahat yang berada di sebelahnya (entah kiri entah kanan), penjahat itu tidak membuangnya. Si Penjahat tidak bergelut dulu dengan analisis isi dan lain sebagainya, kecuali percaya. Dan, jadilah seperti imanmu. Karenanya, Yesus berada di tengah. Buat orang jahat, dan orang baik pula. Karena dia tahu, betapa mulianya menjadi orang baik, maka ia menawarkan iman itu kepada yang jahat untuk dibenarkan, dan menjadi manusia yang lebih baik.

Yesus di tengah, karena dia pernah galau dan betapa tidak nyamannya perasaan itu, maka ia menawarkan iman agar melalui dirinya, kegalauan itu digantikan dengan damai sejahtera.
Yesus berada di tengah, karena ia tahu sekelam apa masa lalu, dan sekuat apa masa depan.
Yesus berada di tengah karena ia ada di awal, dan di akhir. Ialah awal dan akhir itu sendiri. Dan ia pernah dan sudah melewati segala sesuatu yang terbentang di antara awal dan akhir itu (everything in between).

Yesus berada di tengah, karena dia tahu, masa lalu hanya sekecil dan sepenting kaca spion mobil, sementara masa depan, sebesar dan sepenting kaca depan mobil.
Yesus berada di tengah, karena dia menanggung dan menjangkau.


Saya menulis ini, karena saya punya iman dengan kategori jenis ini: percaya pada Yesus yang di salib di tengah. Dan sah-sah saja memberitakan atau menceritakan tentang wawasan iman. Karena, untuk menerima jenis iman tertentu, itu pilihan. Sesederhana saya yang “dipilih” untuk menjadi percaya. Jenis iman saya mungkin berbeda dengan Anda, tapi hati saya, kehidupan saya, perasaan saya, kasih saya, cinta saya, pemikiran saya, kepedulian saya, itu saya bagi untuk semua orang.

Jadi, membantai orang yang berbeda jenis iman, entah itu Ahmadiyah, Muslim, Kristen, Budha, atau Hindu, atau apa pun, rasanya itu bukan jalan dan cara terbaik untuk memberitakan wawasan iman apalagi untuk meningkatkan follower.



#Paskah, 24 April 2011

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Revisi

      Makasih Vi..
      Semoga Paskah selalu membangkitkan kasih kita buat sesama, Bumi, dan kehidupan. Amin.

      Salam taman,
      Edenia

      Hapus
  2. frida: bagus say.. tp koq agak terganggu dgn tulisan "kepribadian ganda" ya? ada istilah yg lebih bagus ga ya hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Kepribadian ganda" cuma bermaksud hiperbola aja. Tapi mungkin mengarah pada konotasi negatif ya. Baiklah, dihilangkan. Penulis kan, nggak boleh egois juga..

      Thanks dear.
      Edenia

      Hapus