“Terjangan tsunami begitu dahsyat dan cepat,” kata Koichi Takairin, seorang supir truk di Sendai. (Kompas, Minggu 13/3)
Hiduplah sedemikian rupa hari ini, seolah-olah ini adalah hari terakhir Anda di dunia.
Kata-kata bijak semacam itu, sering kita dengar dari waktu ke waktu. Namun, kenyataannya, tidak semua dari kita bisa melakukan yang terbaik setiap hari, dari waktu ke waktu, di setiap menit yang kita lewati. Sebaliknya, keluh dan tanya, dan banyak sikap tak berpadanan dengan “hiduplah sedemikian rupa hari ini” justru yang kerap mengisi waktu kita.
Saya sedang bete-bete-nya dengan bos di kantor, yang suka sekali mengganti-ganti rencana kerja. Plan A belum selesai dijalankan, tiba-tiba diswitch ke Plan B, dan itu sangat menghambat proses kerja yang sedang dilakukan tim. Ketika saya sedang berargumen sendiri dalam hati, tiba-tiba saya mendengar berita bahwa Jepang diguncang gempa dahsyat yang memicu tsunami besar (Jumat, 11/3). Seorang teman langsung membuka situs youtube untuk melihat gambar bencana, dan kami melihatnya bersama sambil geleng-geleng kepala. Tap! Sebuah pemikiran lain tiba-tiba melintas di kepala saya. Bagaimana kalau seandainya itu terjadi di sini, di Jakarta, detik itu juga, di tempat saya duduk bergelut dengan kertas kerja?
Pasti, yang bakal terjadi adalah, serta merta perasaan bete terhadap bos lenyap dalam sekejap. Otak secara super cepat melakukan pengalihan pikiran untuk menggerakan tubuh melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. Rencana, pikiran, perasaan, (apa pun!) yang kita anggap paling penting saat itu, mendadak (akan) berubah menjadi bukan yang pertama dan utama lagi. Ya, bencana, bisa melenyapkan segala sesuatu dalam seketika, dan semua mendadak berubah. Dalam skala yang lebih besar, itu juga memorakporandakan seluruh infranstruktur yang telah dibangun puluhan tahun. Semua terjadi dalam sekejap.
Itulah yang kini sedang dihadapi masyarakat Jepang. Bencana itu, pasti menuliskan (banyak) cerita tersendiri di setiap kehidupan orang-orang di sana. Namun yang mengagumkan adalah, sikap warga Jepang yang begitu sigap, siap, dan tidak lebay saat menghadapinya. Mereka seakan paham betul mengenai geografis bangsanya, dan hidup berpadanan dengan itu, bahkan dengan perubahan-perubahan yang ditimbulkannya. Mereka adalah bangsa yang belajar. Dibandingkan dengan gempa kemarin yang notabene besaran skala richter-nya jauh lebih besar dari gempa Kobe (1995), jumlah korban jiwa dan kerugiannya justru masih jauh lebih sedikit. (Berdasarkan laporan Jefferies International Ltd, Kompas, Minggu 13/3).
Sejak gempa Kobe, (dan mungkin jauh sebelum itu), pemerintah Jepang memberikan perhatian yang serius, dengan rangkaian kebijakan yang bertujuan untuk mempersiapkan rakyatnya menghadapi “saat-saat tak terduga nasional” lengkap dengan tempat dan sistem evakuasi yang cermat. Bahkan saat bencana itu terjadi, saya melihat di teve, bagaimana sebuah gedung bergoyang dan agak sedikit berputar seperti memiliki per, lentur, namun tidak runtuh.
Semua kesiapan itu membutuhkan dana nasional yang sangat besar. Pemerintah Jepang memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi para insinyur mereka untuk mengaplikasikan ide dan gagasan, kreatifitas, pemikiran serta pengetahuan, untuk membawa kebaikan bagi bangsa dan negaranya. Nggak heran kalau rakyatnya percaya pada pemerintahnya. Bahkan disaat-saat genting seperti ini. Yah, mungkin itu sebabnya, banyak juga insinyur dan ilmuwan asal Indonesia yang tetap berada di sana. Dan, kita tahu alasannya kenapa begitu. Kita hanya bisa tertawa nyinyir melihat itu. (Kick Andy Show, dalam satu episode yang menampilkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka dunia, asal Indonesia).
Indonesia.
Saya berharap Indonesia bisa mencontoh Jepang.
Setiap benua menampilkan model negara yang patut dicontoh dalam satu atau dua hal. Bahkan banyak hal. Untuk Asia, menurut saya, Jepang masih menjadi juara dalam hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Teman saya tinggal di Chiba, Jepang. Suatu kali, dia bertutur tentang bagaimana kehidupan di sana yang menurutnya bagaikan langit dan bumi dengan di Indonesia.
Indonesia bisa seperti Jepang. Bahkan jauh lebih besar dari Jepang. Kenapa tidak? Dibandingkan dengan Jepang, luka yang dialami Jepang sebagai bangsa masih jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Hiroshima dan Nagasaki menjadi tugu peringatan yang sangat mahal bagi Jepang. Bahkan itu menciptakan konsekuensi yang panjang bagi lintas generasi di Jepang, dalam aspek tertentu--konon, orang-orang Jepang menghindari perjodohan dengan orang-orang Jepang asal Hiroshima dan Nagasaki, karena dampak bom nuklir. Namun setelah peristiwa besar itu, mereka bangkit secara nasional dan menunjukkan diri menjadi salah satu mercusuar dunia. Indonesia sebetulnya juga bisa begitu.
Sayang, tiga setengah abad masa kegelapan kita, (350 tahun penjajahan) belum juga menjadi cambuk keras yang membuat kita berjibaku menjadi bangsa yang benar-benar bangsa. Duh! Bahkan, supir taksi saja sampai bisa bilang, rakyat Indonesia bisa kok jalan tanpa pemerintahan. Ia menyebut kasus Darsem (TKI asal Subang) sebagai contoh, di mana warga sekampungnya serempak berpartisipasi bagi pembebasan Darsem.
Dalam kaitannya dengan bencana, para ahli gempa di Indonesia sudah menyuarakan pengetahuannya, bahwa pergerakan batuan dasar bumi, sedang mengalami percepatan. Dan Indonesia, berada di atas zona tektonik sangat aktif, karena tiga lempeng besar dunia--Pasific, Australia, dan Eurasia-- dan sejumlah lempeng kecil lainnya bertemu di wilayah Indonesia. Tentu, ini mengandung konsekuensi logis bagi kita yang berada di atasnya. Bahkan Jakarta, menjadi salah satu wilayah yang rentan gempa. Ini membutuhkan tata ruang kota yang khusus. Tapi, lihatlah, hitung, di sepanjang Jalan Gatot Subroto dan Sudirman, sudah berapa mal yang berdiri? Bahkan secara keseluruhan di Jakarta? Sampai sekarang, belum ada kampanye kesiapan untuk menjadi warga yang benar-benar siap dengan kerentanan kotanya.
Yah, bumi memang sudah semakin tua.
Seperti manusia, dia juga bertumbuh dan menjadi lanjut usia. Karena itu, bumi juga perlu melakukan “beberapa penyesuaian” yang meminta pemahaman dan kearifan kita, yang mendiaminya. Dan, secara ilmu bumi, ujung bumi itu berada di Papua (!) Irian Jaya, yang masih milik kita, Indonesia. Dengan fakta-fakta geologis, dan segala macam ilmu alam tersebut, Indonesia harusnya segera berangkat menuju transformasi kehidupannya (!) Berbangsa, dan bernegara. Karena, alam tidak dapat menunggu. Jika alam punya jadwal, dan ilmu pengetahuan telah mengajari kita banyak hal, mustinya Indonesia juga punya deadline menuju transformasi besar. Dan, saya rasa, mungkin, itu akan dimulai di Papua. Di Irian Jaya. Tanah yang dipandang sebelah mata oleh banyak orang, akan menjadi termasyur dan besar. Entah kenapa, saya merasa ada “sesuatu” di sana. Dan mungkin, presiden Indonesia kelak, orang Papua. Kenapa tidak?
#demicinta-indonesia, 14.oo wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar