15 Desember 2010

Ariel, Cut Tari dan Kita

Ketika Yesus hidup di muka bumi, terjadi sebuah kasus yang membuat para pemuka agama dan sebagian masyarakat Yahudi, menyeret seorang pelakunya, yakni wanita yang kedapatan berjinah, kehadapan Yesus. Mereka mencoba untuk mendapatkan kesepakatan Yesus, untuk menghukum wanita tersebut dengan cara melemparinya dengan batu sampai mati.  Lalu Yesus menulis kalimat di atas pasir; “Siapa yang tidak berdosa, dialah yang berhak melempari wanita ini.” Dan satu per satu orang-orang yang mengelilingi wanita tersebut undur diri, menjatuhkan batunya ke tanah. Yesus memandang wanita itu dengan belas kasih, kataNya, “pulanglah, dan jangan berbuat dosa lagi.”

Setelah beberapa waktu bergulir, telinga kita diakrabkan kembali dengan kasus Ariel—yang mencuat lagi. Tuduhan terhadap dirinya, telah menyeret artis muda ini ke sidang pengadilan. Prosesnya, dari awal hingga berjalan kini, mengundang pemberitaan media. Cut Tari, selebriti yang dianggap terlibat turut menjadi saksi. Ia menangis, sementara Ariel, terlihat gamang.

Apa pun yang menjadi motif di balik kasus tersebut, terlalu banyak fakta tersembunyi yang mungkin tidak akan terungkap, atau mungkin muncul sepotong-sepotong untuk sampai pada tujuan yang diinginkan oleh si pembuatnya. Siapa? Kita tak pernah tahu... Jujur, saya sendiri juga belum lihat video-nya. Teman saya pernah mengirimnya ke e-mail saya, tapi setiap saya buka e-mail, entah kenapa, saya kok nggak kepengen untuk membukanya. Atau mungkin karena perhatian saya sudah tertuju kepada subject e-mail lain yang mau saya buka. Tidak bermaksud munafik, lama-lama, e-mail tersebut saya delete, karena percuma juga, memenuhi kuota tapi tak pernah dibuka.

Terlepas dari apa yang mereka lakukan, pornografi tetap akan menjadi serbuan jaman yang tak terbantahkan, beriringan dengan informasi dan teknologi yang sepesat anak panah tanpa tertahankan. Hanya kearifan yang melekat pada diri yang bisa menjadi kendali. Kitab Suci menyebutnya sebagai hikmat untuk menilai jaman.

Beberapa waktu lalu, saat pemberitaan kasus Ariel juga masih menghangat, saya menghadiri suatu sesi kepemimpinan di acara seminar untuk kaum muda. Di akhir acara, pembicara yang dikenal sebagai motivator itu, tiba-tiba mengambil waktu sejenak. Matanya berkeliling menyapa wajah-wajah anak muda sambil tersenyum simpul, lalu bertanya tenang, “boleh saya tahu, ada nggak, di antara kita yang nggak tahu Ariel Peterpan? Itu lho, yang nyanyi Buka Dulu Topengmu?”
Pertanyaan si pembicara kontan mengundang seribu satu respon dari kami: ada yang cekikikan, ada suara kompak “huaa..liat juga ya, pak?”, ada juga yang senyum-senyum simpul, ada yang tengok kanan-kiri untuk melihat respon orang lain, ada yang bisik-bisik…dan seterusnya. Saya jadi tersenyum sambil penasaran kemana gerangan arah pertanyaan si pembicara ini, sambil mengingat sebentar melodi Di Balik Awan, salah satu lagu Peterpan yang menjadi favorit saya.

“Ada yang tidak tahu Ariel Peterpan?”
Wah, rasanya tidak satu pun dari kami yang tidak tahu. Lalu, senyap lagi, masih sambil tersenyum, si pembicara berujar, “mari, kita berdoa.”
Hati saya diliputi hening, sementara si pembicara berdoa bagi kami, kaum muda, untuk lebih mawas diri melangkah, doanya sungguh bijaksana dan menyentuh, menggugah kesadaran (kami) untuk lebih mengedepankan kasih dan pengampunan ketimbang cacian dan makian. Mengajak untuk lebih melihat karya terbaik ketimbang kesalahan terburuk, lebih membuka hati kepada perspektif Ilahi ketimbang menghakimi. Sebagaimana Tuhan sudah mengampuni kita, demikianlah kita juga mengampuni.

Pikiran saya melayang. Kita semua, tidak ada yang mengira, tidak ada yang tahu, bahwa jauh di balik kekinian kita sekarang, mungkin pernah ada kisah, atau tersimpan sebuah cerita buruk, pengalaman terburuk: bahwa kita mungkin juga pernah melakukan sesuatu yang bersinggungan dengan ketidakpantasan, ketidakpatutan. Sesuatu di luar garis moral yang disepakati dalam kehidupan sosial, seperti kisah wanita di atas. Bedanya, itu semua tidak (dengan sengaja) terekam kamera video/film, tapi yang pasti terekam dalam kaset kehidupan kita, dan Pencipta kita menontonnya. Melihatnya. Mengetahuinya. Tak ada yang tersembunyi dari mataNya. Dan jauh, ketika itu menjadi bagian dari masa lalu, hati kita perih ketika mengingatnya. Sakit. Dan itu menjadi the ugly truth yang pernah ada. Namun, berita baiknya adalah, seperti kata penulis Amsal, pukulan membersihkan lubuk hati.
Dan kasih karuniaNya melayakkan kita.




4 komentar:

  1. Well writen Winny! I really like it!

    BalasHapus
  2. Thank you Nov, hopefully this article will be a blesing and inspire.

    BalasHapus
  3. cool......cerita ini dapat merubah cara gua menilai. thk

    BalasHapus
  4. hai in, iya, terimakasih juga. semoga kita bisa sama-sama belajar, untuk menjadi lebih bijak :)
    salam.

    BalasHapus