09 Oktober 2009

Pohon Beringin


Sore itu, saya tertarik untuk menyimak acara bincang-bincang di Metro TV (Program Metro Hari Ini) yang mengupas tentang Munas Golkar. Nara sumber yang dihadirkan juga cukup populer dan masing-masing memiliki bobot yang tak diragukan. Baik dari kemampuan analisanya maupun kepiawaiannya berbicara. (Rasanya nggak ada pakar KomPol -Komunikasi Politik- yang nggak jago ngomong). Mereka menyoal visi dan misi Golkar yang notabene, tampaknya kini diisi oleh banyak orang muda. Di satu sisi, musyawarah nasional yang akan segera berlangsung, menampilkan dua kubu yang sama kuat, dan masing-masing telah mengusung satu nama, yang profilnya juga dikenal oleh sebagian masyarakat, dan…dua-duanya juga bos media besar dan berpengaruh.

Bincang-bincangpun bergulir ke masalah gizi partai. Isinya dikemas semenarik mungkin, sesantun mungkin, sehingga saya melihatnya seperti bincang-bincang sore di ruang tamu seorang tuan rumah. Namanya bertamu, tentu tak elok kalau obrolannya seputar kejelekan si tuan rumah, apalagi kalau sampai menjelek-jelekkan. (Bisa-bisa, teh manis plus pisang gorengnya jadi tak terjamah) Haha!

Pakar Kompol yang satu bicara ini, yang satu bicara soal gizi partai, yang satu memberikan masukan lagi dari angle yang lain. Maka si tuan rumah, manggut-manggut sambil senyum simpul, apalagi dipuji kalau dirinya cukup mumpuni di usia muda untuk menjadi kader sebuah partai besar. Saya jadi geli sendiri, kok kayaknya para pakar Kompol ini jadi bersandiwara sendiri, dengan memberikan suara-suara manis kepada satu kubu. Tapi untuk pembelajaran politik masyarakat awam, bolehlah. Dan sah-sah saja mencoba untuk menciptakan dan menggiring opini publik. Tapi jangan salah, rakyat tak lagi bodoh. Rakyat punya opini sendiri juga. Salah-salah, para politikus malah kelihatan jadi seperti badut di mata rakyatnya.

Malamnya, dari stasiun televisi yang sama, melalui program talk-show unggulannya yang dipandu Bang Noya, seorang sosiolog juga ditampilkan, dan diijinkan untuk mengutarakan “marah”nya, sehubungan dengan kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Dengan berani, ia menuding-nuding satu nama yang dianggap menjadi biang keladi dan penanggungjawab utama masalah tersebut.

Oke, sampai di sini, saya tahan dulu pengamatan saya.

Keesokan sorenya, saya memindahkan chanel teve, untuk melihat berita di televisi lain. Kali ini, saya memilih TVOne. Dan secera kebetulan pula, saya menyaksikan bos besarnya sedang diwawancarai oleh reporternya menjelang Munas Partai Golkar. Dan si tokoh ini mengatakan sesuatu yang kedengaran seperti ucapan: “masalahnya bukan pada gizi partai… bla…bla…bla.. “

Wah, baru saja kemarin sore saya menyaksikan bincang-bincang mengenai gizi partai.
Dari sini, catatan saya, politik di Indonesia, masih saja berputar-putar di kubangan yang sama, untuk tujuan yang sama: bertanding merebut kursi kekuasaan untuk kemegahan diri (sendiri). Padahal dari kaca mata saya, musyarawah nasional berarti duduk bersama secara damai untuk mendapatkan kesepakatan hati, untuk tujuan nasional. Tujuan nasional bangsa Indonesia sudah tercantum jelas di Pembukaan UUD 1945, isi UUD 1945 sendiri, dalam Pancasila, maupun Garis-garis Besar Haluan Negara (Pelajaran PMP waktu SMP), bahkan dalam pidato-pidato orang-orang yang menyebut dirinya wakil rakyat, yang seringkali mengucapkan; "kesejahteraan rakyat, dalam Indonesia yang makmur dan berkeadilan".

Jadi, musyawarah ini memang pada akhirnya menuju kesepakatan: sepakat untuk saling kemplang, sepakat untuk saling menjatuhkan, sepakat untuk saling sikut (toh terjadi ricuh besar di munas). Tapi kalau untuk sepakat hati membangun bangsa, oh, itu nanti dulu.

Hakekatnya, sebuah simbol, lambang ataupun logo sebuah organisasi adalah merefleksikan jati diri organisasi itu sendiri. Visi-misi, nilai-nilai, dan sasaran organisasi, semua diwakili dalam satu simbol yang menyertai nama organisasi. Dan sejatinya, pohon beringin itu bermakna atau berasosiasi dengan keteduhan, mengayomi, melindungi, naungan. Namun, sayang sekali pohon beringin yang ini seperti tak punya makna apa-apa, karena pohonnya sudah dipenuhi jin yang membuat orang tak mau lagi berteduh di sana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar