31 Desember 2009

...Kecuali Gus Dur






















Di sekitar Tugu Tani, di taman kota di bilangan Kwitang Jakarta Pusat, terdapat bangunan kecil seperti tugu bercat putih, bertuliskan: Gunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Menariknya, di bawah kalimat tersebut terdapat tulisan tambahan yang ditulis dengan pilox putih yang bertuliskan “kecuali Gus Dur”. Jadi lengkapnya, kalau dibaca utuh adalah: "Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Kecuali Gus Dur."


Itu bikin saya senyum-senyum sendiri setiap kali melintas di jalan tersebut. 

Mengingat Gus Dur, berarti mengingat juga panggung politik. Saya pernah benar-benar tertarik pada Politik. Saat saya menentukan pilihan untuk jurusan atau fakultas yang akan saya pilih di perkuliahan, saya menetapkan Hubungan Internasional di urutan kedua setelah Jurnalistik. Saking berminatnya pada Hubungan Internasional, saya rajin membaca tulisan-tulisan tentang Politik Internasional, menggunting artikel-artikel yang menjadi ranah minat saya, kemudian mengklipingnya. Satu dua artikel, biasanya saya beri analisa singkat di bawahnya, menurut perspektif saya yang terbatas kala itu. Bahkan saya pernah girang bukan main ketika coba-coba melamar kerja di ASEAN, saya sempat menjalani interview sampai tiga kali. Tapi mungkin si pewawancara menilai saya masih terlalu muda untuk berkantor di ASEAN waktu itu (Baru lulus SMA dan akan masuk kuliah).

Sebagai peminat Hubungan Internasional, saya pernah membaca satu artikel politik yang memuat sepenggal kisah mengenai Gus Dur. Karena suatu alasan tertentu, kita memang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi di artikel tersebut ditulis, bahwa diplomat-diplomat Israel pun mengakui kejernihan pemikiran-pemikiran Gus Dur mengenai pluralisme. Bahkan si diplomat mengatakan juga kalau Gus Dur ternyata jauh lebih kocak dari orang-orang yang pernah dia (si diplomat) temui. Maka dari sudut pandang saya, Gus Dur luwes dan piawai berdiplomatik. Beliau menembus batas-batas diplomatik dan keberbedaan (lintas budaya, juga lintas agama).

Saya hanya mengenal sepak terjang Gus Dur dari tutur kata dan kontroversi-kontroversi yang dibuatnya, melalui pemberitaan media. Di mata saya, Gus Dur seorang pluralis, politikus, diplomat, sosialis, pemikir, pengajar, rohaniwan, yang sederhana dan suka pakai celana pendek. Dan terutama, beliau punya dan berani bersikap terhadap isu krusial. Di otaknya terdapat banyak tingkatan. Otak rakyat, otak pemimpin, otak rohaniwan..

Mungkin, dengan “bobot” dan kapasitas Gus Dur yang dikenal seperti itu, beliau dinilai arogan oleh orang-orang yang tak sependapat dengannya. Lebih dari itu, tak ada gading yang tak retak, berlaku bagi setiap pemimpin dunia.

Hari ini, di penghujung tahun 2009, beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Pemikirannya bagi bangsa semoga menjadi warisan yang tetap hidup.
Gitu aja, kok repot!” Tak akan pernah lagi terdengar darinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar