17 November 2008

Memaknai Pagi di Pager Wangi

mengingat jejakmu, pagi, di pager wangi























Ini untuk kesekian kalinya saya mengenang perjalanan paling ekstrim yang pernah saya lakukan, terutama karena saya, setelah sekian lama tidak pernah lagi melakukan tracking, naik gunung, atau kegiatan semacam itu. Jadi, ini untuk yang pertama kalinya saya lakukan bersama teman-teman. Sebetulnya, peristiwa ini sudah lama berselang. Tepatnya di awal Juni lalu, yang begitu membangkitkan semangat. Namun, meskipun sudah beberapa bulan lewat, “ngengat”nya kerap masih terasa, bukan hanya karena saat-saat itu memberikan kesan mendalam tetapi juga tak akan terlupakan.


Beberapa teman memang akrab dengan kegiatan pendakian, meskipun masih terbilang amatiran. Tapi hari itu, kami sama sekali ngga bermaksud nekad. Terjebak di tengah hutan tanpa mengetahui jalan pulang sampai malam, rasanya menjadi petualangan seru yang mewarnai masa muda saya. Bahkan lebih dari itu, pertemuanku dengan alam ini justru memberi suatu pemaknaan baru tentang cinta dan kehidupan.

Pagi itu, dengan semarak masa muda, kami mengayunkan langkah, menyusuri tiap jalan setapak di hutan Juanda, Bandung. Kesumpekan Jakarta dan kepadatan dunia kerja membuat kami rindu merangkul alam, merengkuh erat-erat baunya, bersahabat dengan dedaunan, mengerling pada pesonanya, memuja kilaunya, mengabadikan eksistensinya, meski sedikit-sedikit narsis juga --mungkin maksudnya foto-foto kami akan kami perlihatkan kepada anak cucu kelak (halah..), dan kami ceritakan, bahwa kami pernah punya petualangan yang lebih seru dari petualangan sherina-- (hehe, mba mira, ngga bermaksud menyaingi, loh!) lalu kami juga menjelajah setiap lekuknya, dan segala hal yang dapat kami kagumi tentang alam. Kami berjalan dengan kegembiraan yang rasanya masih terus kami naikkan derajatnya. Sampai akhirnya,
“mau pilih jalan yang lebih ekstrim?” Pemandu kami menawarkan suatu tawaran yang rasanya tidak dapat kami tolak. Akhirnya, kami memilih jalur lain untuk mengitari hutan Juanda, untuk sampai juga di Maribaya. Kami melewati jalur penduduk, bertemu dengan petani penggarap ladang, dengan ladang dan kebun, naik turun bukit, tanah-tanah lunak, berbatu, juga anak-anak berseragam sekolah SD, dan beberapa anak madrasah.

Kami semua menikmatinya. Terutama karena jalannya penuh kejutan. Maklum, di Jakarta hanya disuguhi trotoar, jalan yang mulus tapi dengan asap tebal, dan lift yang memanjakan otot-otot kaki. Jadi ketika kami melewati jalan yang menanjak, rasanya adrenalin pun terpacu. Menurun, menanjak lagi, datar, berhati-hati di sungai, melewati batu besar, mencium bau bangkai kucing, hmm, bau tahi kuda apa kerbau bercampur tanah enak juga, menanjak lagi, memotret pucuk-pucuk pohon, mengaso sebentar, naik lagi turun lagi, dan….kami telah melangkah terlalu jauh, kehilangan jejak yang biasa disusuri orang.. (sampai di sini, kami sepakat kalau pemandu kami ini sedang “lupa” jalan) Hehehe…

Kami terus mencari jalan keluar. Berputar, naik lagi, turun lagi, kadang-kadang, karena medan yang curam dan tanah yang berpasir, kami terpaksa harus melewatinya dengan cara memerosotkan diri, layaknya seperti main perosotan, kemudian memeluk pohon untuk berhenti pada satu titik di mana terdapat ruas jalan.
Matahari sore menerobos celah-celah daun di hutan rimba. Rasanya kami sudah masuk ke perut hutan, benar-benar di tengah hutan, hanya terdengar suara deras air sungai, tapi setelah beberapa teman mengecek, kami sepakat itu bukan petunjuk yang baik untuk menuju air terjun Maribaya, di mana sebagian teman juga sudah menunggu di sana.
Setelah beberapa kali mencoba menerobos dan membuka jalan sendiri,
ngasruk-ngasruk di hutan, akhirnya kami “dipaksa” mengaso pada satu perhentian yang rasanya selamanya bukan tempat yang baik untuk digunakan sebagai tempat perhentian : sebuah bidang yang sangat landai, tepatnya di kemiringan sekian derajat, dengan kontur yang begitu menantang bahaya, karena jika salah satu dari kami terpeleset sedikit..hm..lembah curam di bawah sana sudah menunggu untuk memeluk. Masing-masing bersandar pada apa saja yang bisa menjadi sandaran : ranting, batang pohon yang menjulur ke bawah, rumput, batu, tanah.. Sejauh kami melewatinya, maut masih bertepuk sebelah tangan dengan kami.

Dalam keheningan itulah…

Kepada Sang Khalik, juga kepada alam yang kami cintai, kami mengakui kami telah tersesat baik di tengah hutan maupun di tengah “keluguan” kami.
Kami membuka ketenangan memasuki pintu jiwa kami, dan berharap bahwa damaiNya membalut hati kami. Mengherankan, semua masih tetap sama seperti waktu kami berangkat dari titik paling awal : satu semangat, satu jiwa, satu harapan, satu keyakinan, satu doa, kami pasti menuntaskan perjalanan ini.
Saat itu, di tengah gelapnya malam, dengan sedikit cahaya yang berpendar-pendar dari perumahan penduduk yang rasanya nun jauh di puncak gunung, salah satu dari kami mencoba menyampaikan sandi dari lampu senter. Yang lain mencoba menghubungi teman, dan pemandu kami menghubungi temannya yang juga pendaki gunung yang jauh lebih senior dan kawakan, untuk meminta bantuan. Hanya ada dua ponsel yang bisa digunakan saat itu, selebihnya masalah baterai habis atau sinyal yang lemah.
Yang kami rasakan saat itu :
Ada keberanian yang mengalahkan ketakutan,
Ada kegembiraan yang mengganti kesunyian, --kami bertepuk tangan sekeras-kerasnya dan berteriak “auwooo…” persis seperti tarjan-tarjanan..hahaha--
Ada keceriaan dan keyakinan yang mendorong kecemasan dan kekuatiran,
Punya iman yang terlalu terang untuk menerobos kegelapan, dan terlalu kuat untuk mendobrak kemustahilan..

Hm, tapi rasanya lutut saya mulai gemetar nih, terlalu lunglai untuk menopang tubuh.
Kalau masalah dingin, rasanya kulit saya sih mencintai dingin. Sejak kecil, saya akrab dengan suhu udara rata-rata daerah Pasundan.. so,
teu naon-naon dingin mah..
Cahaya lampu senter menyorot wajah saya kuat-kuat. Ada genggaman tangan yang menghangatkan saya, ada tumit teman saya yang sengaja direkatkan ke ujung kaki saya untuk menahan beban, ada uluran tangan untuk membenarkan posisi saya, ada semangat
“kamu pasti bisa, win.. kita semua pasti bisa”, ada sedikit air untuk sekadar membasahi bibir agar jangan terlalu kering. Akh, segenap mata, telinga, tangan, kaki, kekuatan dan kasih saling menopang jiwa.




akhirnya...pagi !





















Dan..
Dari gelap terbitlah terang!
Sang Khalik mengutus malaikatnya, memberi pertolongan tepat pada waktunya. Pendaki senior yang sudah kawakan itu, datang bersama temannya, dan bukan main..berhasil menemukan titik di mana kami berada! Salut euy, padahal gelap, sudah malam, dan medannya juga sulit. Batu besar di atas kami menjadi petunjuk katanya.
Tentu saja, dia kan mungkin sudah ratusan kali membuat jejak di hutan Juanda sini, medan yang hanya buat amatiran seperti kami :D
Dengan sisa-sisa kepayahan dan kewalahan yang coba kami kalahkan, kami meneruskan perjalanan. Untuk keluar dari hutan, kami harus menempuh jarak yang lumayan menguras tenaga lagi, dan melewati medan yang tidak mudah karena itu berarti menuju puncak gunung, di mana perkampungan penduduk ada..
Okelah..! Untungnya, semangat kami masih 45, tidak pernah menurun jadi 35 atau 25.
Naik lagi, berawas-awas lagi, pegangan erat-erat lagi…mengatur nafas lagi…berdoa terus dalam hati… ups! awas, tanah berpasir, jangan sampai merosot ke bawah, hm,
“masih jauh ya, om?” huwf…hehh-hehh…ayo, atur nafas…pelan-pelan, dikit lagi sampe…
Akhirnya, saya sampai juga di atas dan melihat peradaban! Bintang-bintang di langit menjadi begitu dekat di mata saya. Pemandu senior dan saya sampai di puncak lebih dulu, dekat dengan perkampungan penduduk, sementara teman-teman masih di bawah menunggu bantuan air minum. Entah ya, saat itu, semangat saya seperti dinaikkan hingga mencapai derajat yang paling pool, bahkan lutut saya yang terasa lunglai jadi kuat lagi.

Pwuffh! Ini seperti layaknya sebuah pelatihan yang nyaris sempurna saya lakukan.

Satu, dua, tiga... satu per satu teman-teman mulai bermunculan. Yes, kami semua “menang”! Pelukan rasanya sudah lebih dari cukup sebagai cara yang unik untuk merayakan “kemenangan”. --pelukan : yang ini memang selalu pas dan cocok untuk semua ukuran, juga meredakan ketegangan-- :)



sembilan nyali muda



















Esoknya,
Ketika pagi menjelang, saat kami bangun dan bertegur sapa dengan mentari dan embun pagi Pager Wangi, kami mengingat jejak-jejak semalam, ketika kami menapakinya langkah demi langkah. Terbesit di benak saya : “
terlalu bodohkan perjalanan kami, apa yang kami lakukan itu?” Hm, ngga juga. Tapi terlalu bodoh untuk tidak mengakui bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain. Saya merekam betul, bagaimana kami saling menopang di bawah dan di atas.
Saya, memaknai perjalanan ini sebagai sebuah episode yang berisi cerita bermakna, dan mungkin juga akan berlanjut pada seri-seri berikutnya.
Yang pasti, bagi saya, pagi itu adalah :
Kehidupan baru
Anugerah

Pengampunan
Kebebasan
Kasih
Karunia
Karya, dan…
Kesempatan untuk menyaksikan cinta Tuhan di hati para sahabat. Kami telah menorehnya melalui jejak-jejak yang tak terlupakan, yang mengungkapkan cinta itu : pada Tuhan, pada alam, dan pada sesama. Bahkan ada cerita lucu yang tersimpan, yang mengundang candaan nyeleneh saat kami mengingatnya.


Suatu saat, ketika kami bergulat dengan hidup dan seribusatu masalah di dalamnya, “perjalanan ini” akan mengingatkan kami, bahwa kami pernah sampai di atas, keluar sebagai pemenang, dan ketika kami melihat ke bawah, kami dapat merenunginya, betapa kami mampu dan telah melewati itu semua,
dengan semangat dan gelak tawa, dan bukan juga dengan kekuatan sendiri...


(Buat JSN Cardoner, --kita bersembilan-- yang sudah “bercinta” dengan hutan dan ngga akan kapok untuk datang lagi : Endru, Laura, Kirix, Johan, Fitri, Harszky, Jungle, Ai. Thanks to tante Vin, om Paw Khang, mas Supri, Thomas Alpha Edison--penemuan lampu pijar/senternya--dan provider telepon seluler dengan sinyal kuatnya :D, serta segala sesuatu yang dipersembahkan bagi kehidupan, and you, JC) Foto 1 dari Vivi "Jungle" foto 2 dari Fitz, foto 3 dar Endru

8 komentar:

  1. The secret of happiness is Freedom, The secret of freedom is courage (thucydides)...
    Alam memberikan kebahagian untuk kebebasan, tetapi kebebasan hanya didapat dari sebuah keberanian....

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Yang lebih ekstrim lagi, bisa dicoba pendakian gunung ciremai. Selain medan yang "menantang", hawa mistiknya juga sangat kental. Akan ada petualangan yang aneh di sana :)

    BalasHapus
  4. jadi kapan mau ke Ciremai?

    BalasHapus
  5. buat galih & andrie,
    tgl 26-28 juni ini, teman2 ke ciremai.tp saya belum tahu, ikut apa nggak. kaki masih gempor. baru dari gede :P

    BalasHapus
  6. Lebih hebatlah mereka yang berani mencintai alam daripada yang takut akan alam

    BalasHapus
  7. avds, thanks sudah mampir ke blogku..
    nggak merasa hebat sih, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda ketika kita bisa merangkul alam :)
    -peace-

    BalasHapus