19 Agustus 2009

Pelajaran dari Pendakian



Tepat di bulan Juni lalu, di tanggal yang sama, seperti setahun lalu (kesamaan ini tidak disengaja, baca Memaknai Pagi di Pager Wangi), menjadi pengalaman pertama saya mendaki gunung!
Mulanya karena seorang teman di satu komunitas meminta saya menggantikan satu teman wanita yang mengundurkan diri. Karena tak ingin menjadi satu-satunya wanita, teman inipun mengajak saya. Waduh! Saya menimbang-nimbang, karena terutama saya sama sekali nggak punya pengalaman mendaki gunung. Teman saya juga memberikan gambaran bagaimana medannya (agak jiper juga saya!). Dia bilang, saya pasti mampu. Duh, ajakannya benar-benar menggoda rasa penasaran saya. Akhirnya, setelah pikir-pikir, menimbang-nimbang, saya terima juga tantangannya! Muncak Gunung Gede, berbekal semangat dan nyali. He he he. Saya nggak punya persiapan apa-apa, kecuali memastikan kondisi badan dalam keadaan fit.


berbatik ria di puncak gunung gede.ki-ka : almas, alif, junglelita, yonny dan damar. foto: edenia


Kami membaginya dalam 2 Tim. Tim pertama beranggotakan 5 orang termasuk Ketua ROP, Tim Kedua juga beranggotakan 5 orang dengan Ketua ROP. Saya ada di Tim Kedua (Tiga laki-laki, dua perempuan termasuk saya). Kami berlima berangkat dari Kampung Rambutan Jumat malam, menuju Cibodas, dan akan menempuh pendakian melalui jalur Gunung Puteri. Dibandingkan teman-teman yang lain, ransel saya termasuk yang paling ringan dan lapang. Hanya berisi beragam panganan, air mineral, t-shirt dan celana ganti, serta sleeping bag. Padahal teman-teman yang lain, wah tinggi tasnya sampai melebihi kepala mereka dengan bawaan yang begitu banyak dan berat. (Maklum, ini pengalaman pertama saya, jadi saya agak kaget juga melihat ransel teman-teman yang padat). Dalam ROP ditulis, bawaan harus sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dilarang merepotkan, harus bertanggungjawab kecuali darurat! Jadi saya pikir, berat ransel saya sudah sangat pas buat saya yang kecil ini.
Setelah sempat bermalam di satu camp, dan melakukan packing ulang, esok paginya, subuh-subuh sekali, ketika matahari juga belom muncul kecuali warna merah yang berpendar-pendar di langit, kami berangkat. Kami sampai di Pos Perijinan, di sana sudah sekitar puluhan pendaki yang menunggu untuk tujuan yang sama. Waduh, jalan menuju Pos Perijinan saja lumayan berasa banget nguras tenaga! Nggak cuma saya doang yang terengah-engah, beberapa pendaki lain saya lihat juga begitu. Wah…

Detik-detik sebelum mulai berangkat, kami membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan, untuk berdoa. Nggak banyak yang bisa saya ucapkan selain meminta perlindungan, kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan pendakian dengan selamat. Pulang-pergi. Saya mulai mengemut cokelat untuk memberikan energi tambahan. Sebagian besar teman, yang sudah berpengalaman dan beberapakali muncak, terlihat sudah paham betul dan mengusai medan-nya.

Hm, benar saja, di tengah jalan menuju Pos Pertama, kaki saya mulai kram! Nggak parah sih, tapi saya merasakan jari-jari kaki sebelah kiri saya kaku dan saling menempel, sehingga kalau dijejakan ke tanah, terasa sakit, ngilu bercampur geli. Teman-teman tertawa mendengar kram yang terasa aneh di kaki saya. Kami berhenti sebentar di bidang yang landai, untuk membiarkan kaki saya rileks beberapa saat. Seorang teman mengolesinya dengan krim dan memijat-mijat jari-jari di kaki saya. Akhirnya, nggak lama kaki saya pulih, dan kami melanjutkan perjalanan. Terus…terus dan terus…tanpa ada kram lagi di kaki saya. Ketika kami sampai di suatu titik tertentu, di mana sekeliling kami cuma ada hutan yang lebat dengan pohon-pohon yang rimbun, ada “sesuatu” yang membuat saya dan teman saya, Damar, saling berpandangan. Kenapa? Karena dari semua teman-teman, cuma kami berdua yang mendengar “suara aneh” yang begitu dekat di telinga kami. Jadi ketika saya berjalan, tiba-tiba seperti ada suara, mirip suara manusia tapi agak terdengar berat, seperti suara bass pria, yang membisikan sesuatu di telinga saya. Bunyinya, “hahg…hahg…hahg…”. Sangat jelas dan begitu dekat (!) terdengar seperti sebuah aba-aba. Ketika saya menatap ke sekeliling, saya tidak melihat ada orang lain di dekat saya kecuali Damar, yang beberapa langkah di depan saya, lalu Yonny, beberapa langkah di belakang saya, dan seterusnya…. Di tanah yang landai, tiba-tiba, Damar berhenti, sampai jarak kami bertiga demikian dekat.

Damar :“Kamu dengar nggak, suara yang tadi itu? Persis di telinga?!”
Saya : “Ya ampun, aku pikir cuma aku aja yang dengar!”
Yonny : “Suara apa sih? Aku kok nggak denger apa-apa?!”

Kami pun melanjutkan perjalanan.
Saling menyemangati, beristirahat untuk mengatur nafas, meneriakan nama teman yang beberapa meter di bawah kami, kemudian berjalan lagi. Tiba di Pos Kedua, Ketiga, dan seterusnya…

Saya mesti akui, medannya buat saya yang pertamakali begini, memang berat. Banyak bidang yang membutuhkan pengetahuan dan kecermatan kita. Tapi mesti saya akui juga, ini sangat mengasyikkan!! Bahkan bisa-bisa bikin ketagihan!

Kami saling susul menyusul dengan kelompok pendaki yang lain. Beberapa pendaki masih kuliah di ITB, IPB, ada aktivis PKS, ada juga rombongan karyawan TOTAL, dan lain-lain. Teman yang mengajak saya, akhirnya bergabung dengan Tim Pertama dan tertinggal jauh di belakang. Praktis tinggal kami bertiga yang saling berdekatan : Damar, saya, dan Yonny.

Tegur sapa dan saling memberi semangat antar sesama pendaki menjadi hal yang sangat wajar dan begitu berbeda. Saling menepuk tangan di udara (toss), menjadi bentuk transfer semangat yang diberikan. Spontan, dan sangat bersahabat. Bahkan berpegangan di pohon yang sama dan sama-sama mengatur nafas menjadi sesuatu yang sangat unik buat saya. Tidak saling mengenal, tidak berbicara karena masing-masing sudah kelelahan dan perlu mengatur nafas, tapi di dalam hati kami sama-sama tahu bahwa kami sedang akan melangkah menuju tujuan yang sama!
Bahasa “Sasmita!”

Akhirnya..
Surya Kencana!
Kami mendirikan tenda di sana, dan masih harus mengumpulkan kekuatan lagi untuk ke Puncak esok subuhnya. Soal makan, hm, kami sama sekali nggak kekurangan makan. Ada Yonny yang benar-benar sudah mempersiapkan logistik dengan sangat baik! Pintar memasak pula! (Saya cuma bantuin menggoreng dan makan aja. He he he) Saat-saat di Surya Kencana, ketika saya dan teman-teman perlu mencari lapak untuk keperluan “pup dan pis”, saya jadi teringat mereka yang tinggal di pengungsian, dan mengerti bagaimana perasaan mereka.

Esoknya,
Kami sampai di Puncak Gunung Gede!
Permukaannya memang datar, banyak tanah berpasir dan tidak terlalu “istimewa” buat saya, tetapi kalau melihat ke bawah, wah! Betapa menakjubkan saya bisa menempuhnya! Dengan bantuan semangat teman-teman tentu.

Kedua kaki saya, memang gempor-gempor!
Tetapi saya tetap mendapatkan pelajaran berharga dari pendakian ini.
So precious! i've got many awesome things! Ini dia :

1. Waktu saya menikmati gunung yang begitu tangguh dan dengan gagahnya berdiri di depan saya, saya jadi begitu menyadari kebesaran Pencipta. Ketika Tuhan memberi berkat sekaligus mandat kepada manusia untuk menguasai dan menaklukan alam ini, itu dimaksudkan agar kita mengelolanya dengan bijak, untuk menjaga keseimbangan dan harmoni hidup. Sudah seharusnya kita memelihara alam, bukan mengekploitasinya habis-habisan dan bertindak serakah!

2. Waktu saya turun—ini bukan medan yang mudah, saya memilih untuk menciptakan ritme sendiri. Karena ini pengalaman pertama saya, saya memilih untuk selalu menjejakkan kaki pada batu yang landai dengan dasar yang kuat. Sehingga itu memudahkan saya untuk berjalan zikjak, dari satu batu yang landai ke batu yang landai lagi. Satu dua orang memilih untuk menuruni medan dengan cara berlari. Bahkan saya dengar para prajurit yang sedang berlatih harus menempuh pendakian hanya dalam tempo 2 jam saja, termasuk naik dan turun.
Artinya, miliki dan ciptakan ritme sendiri dalam mengatur langkah masa depan. Jangan meniru orang lain, karena jalan hidup orang lain belum tentu sama dengan kita. Apa yang ditetapkan untuk orang lain belum tentu ditetapkan juga untuk kita. Hampir setiap kita memiliki pola yang berbeda. Sepanjang itu baik, lakukan saja. Jangan lupa juga, miliki dasar yang kuat!

3. Berbagilah semangat, kekuatan dan kegembiraan bersama orang lain. Tapi yang paling penting, bertautlah dengan Sumbernya. Bergabunglah dengan orang-orang yang penuh dengan semangat hidup, yang berpikir positif bukan yang loyo dan pesimis. Dengan begitu kita bisa saling mentransfer semangat dan kehidupan.

4. Hiduplah dengan tujuan. Tetapkan fokus iman untuk mewujudkannya, disiplin, dan konsisten dengan pengaturan waktu.

5. Bersikaplah rendah hati tapi jangan rendah diri. Kerendahan hati membuat kita menyadari bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. Tidak ada satu keberhasilan pun yang dapat diraih hanya berdasarkan hasil kerja satu orang. Selalu ada orang-orang lain yang berkontribusi entah nyata atau pun invisible. Sebaliknya, rendah diri akan menghambat pencapaian-pencapaian kita.
6. Ketika menemui “bidang terjal” kehidupan, jangan mengeluh! Jangan komentar dulu. Hadapi saja dan lewati. Ada keindahan yang menanti di baliknya.

7. Bersyukur. Ini membuat kita sehat rohani dan jasmani dan siap untuk menempuh “pendakian-pendakian” selanjutnya!

Kami turun dengan selamat, sambil memunguti sampah sepanjang perjalanan.
Teman-teman, jangan nyampah yaa…
Peace!

2 komentar:

  1. very good one, win :) hope u can continue this activity.

    note : it should be sleeping "bag", not "back" :D

    BalasHapus
  2. wah .. jadi pengen mendaki .. klo mendaki lagi kasih kabar kak, jgan lupa . aku mau :D

    BalasHapus