Ketika Kebingungan Melanda Jiwa
Film ini diproduksi tahun 2006, dibintangi
oleh Brad Pitt.
Ini pelajaran tentang bagaimana kita, seringnya nih, memilih berkomunikasi dengan bahasa kita sendiri, tanpa memahami bahasa jiwa orang lain. Bahkan dengan Pencipta kita saja, kita membuat bahasa monolog; cuek adalah kata yang paling tepat. Sementara bahasa cuek, sama sekali tidak Tuhan kenali. Apalagi acuh-acuh butuh.
Cerita ini mengingatkan saya pada kisah Menara
Babel di Alkitab, (Kejadian 11:1-9) di mana manusia mencoba untuk menyaingi
penciptanya dan membuat sebuah menara yang tingginya sampai ke langit. Akhirnya mereka diserakkan, dan masing-masing tidak lagi bisa saling memahami kata dan bahasa. Babel sendiri artinya:
membingungkan.
Kehidupan yang beranjak banyak, ternyata tidak selalu membuat manusia dewasa, bijaksana, dan menjadi lebih rendah hati. Malah
sebaliknya, sombong, egois, angkuh terhadap hidup, dan berjalan dengan kebenarannya sendiri, juga mau menang sendiri.
Setelah banyak kehilangan dan dihadapkan dengan banyak keruwetan, baru mencari-cari
pemulihan.
Film ini berkisah tentang:
Tiga ayah.
Tiga keluarga.
Tiga negara di tiga benua.
Tiga budaya.
Tiga bahasa.
Dan satu benang merah.
Film Babel, sangat menarik untuk mereka
yang menyukai banyak dialog dengan banyak pelajaran soal hidup dan hubungan.
Iya, ini film drama yang dikemas sangat apik terutama karena peristiwa-peristiwa
yang dinyatakan di dalamnya saling bertautan menjadi titik-titik yang tidak
terduga. Baru nanti di ujung cerita, kita akan tahu maksudnya apa. Ini cuma buat
mereka pemikir cerdas, ya. Yang suka film laga, gak bakal betah menonton sampai
akhir.
Oke. Amerika.
Seorang suami berkebangsaan Amerika, mencoba untuk memulihkan hubungan
perkawinannya dengan sang istri. Kasih mereka yang telah menjadi dingin membuat suami melakukan upaya untuk membawa istri pergi
jauh dari rumah, hanya berdua, dan berharap bisa bicara dari hati ke hati dan
memulihkan jiwa pernikahan mereka. Istri diajak berlibur bukan ke tempat
di mana banyak angin sepoi-sepoi basa, melainkan ke daerah di padang gurun yang
sarat dengan konflik bersenjata. (See? Laki-laki itu jarang sekali bisa menjadi
pendengar yang baik. Tanya dong, istrimu mau diajak kemana, jangan
memutuskan sendiri, berdasarkan apa yang kamu mau).
Sekarang, Maroko.
Seorang ayah di Maroko punya dua anak laki-laki yang beranjak ABG. Saking terisolasi, miskin dan jauh dari hiburan, mereka harus bekerja keras untuk
menyambung hidup. Bahasa didikan si ayah kepada dua anak laki-lakinya sangat
sederhana namun berbahaya: mengajari mereka yang masih bocah untuk menembak
dengan tepat kambing domba gurun yang tersesat. Dua bocah itu berlatih
dan akhirnya bersaing peluru siapa yang melesat paling jauh. Tanpa diduga, satu
tembakan menembus kaca bus pariwisata yang melintasi daerah mereka.
Ayah Jepang.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi
setempat, diketahui bahwa senjata yang digunakan bocah-bocah dusun udik di Maroko tadi, ternyata milik seorang warganegara Jepang.
Penelusuran peristiwa ini bukannya tanpa darah, malah jadi mengambil nyawa.
Di sisi lain, si ayah Jepang ini sedang kewalahan memahami bahasa jiwa putri
tunggalnya yang mengalami trauma kehilangan, dan sedang bergumul dengan kepahitan
dan penerimaan diri. Dalam pikiran remaja belia ini, laki-laki cuma menginginkan tubuh wanita saja, dan untuk mengonfirmasi itu, ia menekan “tombol
penggoda”.
Lantas, bagaimana masing-masing lakon
menyelesaikan situasi rumitnya?
Semoga tahun ini, kita nggak berkutat dengan kebingungan, karena itu bikin bocor energi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar