25 November 2021

Imperfect


restore your broken places and honor your journey
(kintsugi)
image: Thomas Navarro; amazon.com

 


















Pagi itu, saya menyusuri pantai Pangandaran, berharap akan mendapatkan jepretan yang indah saat matahari perlahan menyembul dari garis batas bumi. Saya menunggu sunrise sambil mengamati kehidupan di pinggir pantai; nelayan yang siap melaut, kapal-kapal yang merapat di tepi pantai, hiruk-pikuk pasar, penjual bubur ayam, para pedagang ikan, anak-anak yang asyik bersepeda ontel, dan orang-orang yang sekadar ingin menikmati suasana pagi di pantai.

Saya menunggu kemunculan matahari seperti yang saya inginkan.

Saya membayangkan bentuknya, warnanya yang segar, muncul di ufuk timur dengan cahaya menyeruak di langit like a heaven’s door, serta air laut yang bermandikan cahaya. Hm, sempurna!

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat. Nggak akan muncul ini mah, pikir saya. Pagi sudah beranjak jauh, dan dia- sang mentari, nggak muncul dengan bentuk dan panorama seperti yang saya mau, kecuali guratan warna kuning bercampur awan kelabu yang berpendar-pendar di langit jauh. Sesekali dirinya menyembul sedikit, sangat sedikit, memantulkan cahayanya di air laut yang mendadak mengkilat indah, tapi lantas tertutup mendung lagi. Yah, mendung. Saya kecewa. Meskipun begitu, saya tetap membidik. Sana-sini. Klik-klik-klik. Tak ingin menghabiskan banyak waktu di sana, sayapun kembali ke penginapan.

Beberapa waktu kemudian, saat saya melihat-lihat dengan seksama beberapa foto yang saya ambil, saya takjub melihat hasilnya. Tawar menawar penjual dan pembeli ikan, nelayan yang bersiap-siap bekerja, anak-anak yang bersepeda, laut yang sepi dan tenang, warna pastel kelabu pada airnya, kehidupan pantai, semua tampak hidup dan menyiratkan kehidupan. Keindahan sempurna yang saya mau memang tidak terjadi, tapi yang ini oke juga. Tiba-tiba, cakrawala pemikiran yang baru menghampiri saya. Sesuatu tentang sikap mau menerima. Mau kompromi. Sesuatu tentang ke-tidak-sempurna-an.

Berapa sering kita membuang-buang waktu untuk mengharapkan kesempurnaan? Atau selalu berusaha untuk menjadikan segalanya sempurna seperti yang kita mau, dan malah mengabaikan hal-hal lain yang justru lebih bermakna? Kecantikan wajah, keelokan tubuh, status sosial, tingkat keberhasilan, kriteria pasangan, kehidupan pribadi, hubungan, maunya “seperti yang saya mau”. Ck..ck..ck, apa nggak letih?

Fokus pada kesempurnaan hanya akan membuat kita menjadi pribadi egois yang tidak mau belajar meluaskan hati. Tentu, setiap kita memiliki standar, apalagi jika itu menyangkut seni dan citarasa dan cara bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan. Dan kita tidak harus merusak atau menurunkan selera kita. Bukan itu poinnya. Berkompromi adalah melihat dari sisi yang lain dan bagaimana itu membawa kebaikan bagi kita, orang lain dan segala hal di sekitar kita.

Bayangkan sejenak tentang kota di mana kita tinggal. Jakarta. Bayangkan semua ketidaksempurnaan yang menyumpal di dalamnya. Dari pagi sampai pagi lagi. Dari kita keluar rumah, masuk pintu kantor, dan keluar lagi. Ada banyak hal yang terjadi dalam satu hari, dan mungkin saja itu bukan hal-hal yang ingin kita dengar dan lihat. Jika kita terus fokus di situ, pasti sudah bikin hati kita berdarah-darah. Diam, dan berefleksilah sejenak, bersyukur dalam hati malah jauh lebih menenangkan dan membawa kelegaaan, ketimbang hanyut dalam begitu banyak pikiran mengenai “harusnya begitu” atau “sebaiknya begini”.

Terkadang beberapa hal tampaknya bergerak ke arah yang salah. Atau terlihat tidak sempurna. Tak apa-apa. Bukan itu yang penting. Seringkali, di balik ketidaksempurnaan justru tersimpan banyak keindahan yang menawarkan kita pandangan baru yang menyegarkkan. Ketidaksempurnaan menyimpan pelajaran dan tujuan spesifik yang dapat kita temukan, dan itu pasti sesuatu yang berkontribusi bagi pertumbuhan pribadi dan kematangan kita. Jangan ragu untuk belajar dan melatih diri. Ketidaksempurnaan seringkali hanya  cuma soal bagaimana melihat dan menanggapi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar