10 Desember 2019

Ikatan


You get me. And I get you.
I love that about us.


























Kalau kamu mencintai siang, kamu juga harus jatuh cinta pada malam.
Energimu untuk menerima kebaikan, harus sama besarnya dengan energimu dalam menghadapi kesusahan. Tidak ada hidup tanpa padang gurun. Jangan fokus pada padang gurunnya, fokuslah pada malaikatnya. Kehadiran malaikat bukti penyertaan Roh Kudus (saat kamu berada di padang gurun). 
Jangan cepat protes terhadap apa yang Tuhan sedang proses. 
~ Romo Aba MSC

Setiap pasangan dibentuk oleh pasangannya.
Setiap pasangan ditajamkan oleh pasangannya.
Seperti besi menajamkan besi. Sesama menajamkan sesamanya.

Masa-masa penyesuaian di awal-awal pernikahan, boleh dibilang gampang-gampang susah.
Terkadang diselipi percekcokan panjang dan argumen runcing, tapi bersamaan itu juga hadir
 hal-hal manis yang tidak terduga; tertawa bersama untuk hal-hal receh, selalu makan siang-malam bersama, belaian setiap saat, ungkapan cinta dengan emosi yang dalam hingga ujung hidung terlihat memerah, pelukan di pagi hari dan menjelang tidur malam, sesi bercinta yang selalu memuaskan, (ini pengalaman seks saya yang --sangat-- untuk pertamakalinya, btw.) diskusi untuk hal-hal yang menarik, trending topik di twitter, tomyam yang selalu terasa enak dan segar, roti bakar keju dan kopi hitam panas manis di pagi hari (yang selalu disediakan), cerita tentang teman-teman di masa kecil, obrolan hingga lewat tengah malam, penghargaan, pujian di lintasan hari-hari, dan spiritualitas. Ya, spiritualitas. Berdoa bersama, membawa hati kami kepada Dia yang memberkati dan meneguhkan perkawinan kami, itu membuat kami jadi makin saling mengenal, makin sering ngobrol, makin kami kuat menghadapi dan sabar terhadap karakter kami satu sama lain yang berbeda dan unik.

Bayangin aja, yang satu punya standar 100, yang satunya lagi 50.
Beda 10 poin aja bisa masalah banget apalagi setengahnya.

Kelihatannya emang rumit; karena berangkat dari nilai-nilai yang berbeda.
Tapi dari kerumitan itu jadi muncul kesepahaman, saling menerima, dan kesadaran penuh, kalau di dunia ini, sebetulnya gak ada pasangan yang bener-bener cocok satu sama lain. Itu menyesatkan! Yang paling bener, gimana kami bisa jadi orang yang tepat bagi satu sama lain. Lebih lagi, ini menguatkan keteguhan hati untuk mempercayai rencana Tuhan bagi kami. 

Semua kabar, semua nasihat, semua pepatah pernikahan yang pernah kami dengar seakan terjembreng jelas di hadapan, seperti jemuran. Namun dari semua kebingungan itu, dari kesulitan yang tidak selalu bisa dimengerti, dari ketidaksanggupan yang hampir mencuri asa, ada cinta dan keputusan yang bertanggungjawab di dalamnya. Di awal dan di akhir. Keputusan untuk bangun cinta sampai akhir, tidak cuma jatuh cinta di awal. Bahkan setelah masa-masa turbolensi mereda, selalu bisa saling menatap dan berpelukan lagi, selalu tersedia usapan di bahu, selalu terbuka pintu maaf sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi..dan bersyukur selalu bisa menenangkan hati.

Sampai hari ini, Kasih telah, --dan akan selalu-- mengokohkan dirinya sebagai sesuatu yang tak pernah gagal.

Sebagai pasangan pasutri, yang baru membangun "rumah kami bersama", kami berdiskusi dengan hati yang lebih jujur dan terbuka, di suatu sore, ketika kami usai nonton film Marriage Story. Sejujurnya, itu menstimuli perspektif yang lebih luas. 

Kami melihat, goalnya masih di depan. Masih jauh. Yang terjadi sekarang adalah, kami sedang menyiapkan tanahnya. Belum menyemai. Tanah gembur untuk semaian subur. Tanah itu adalah hati kami yang siap dikerjakan, dan ditaburi benih. Jadi, berasa banget kalau sedang diaduk-aduk. Karena sejatinya, pasangan itu saling membajak tanah (hati); supaya hati yang keras jadi lembut. Dan saat kami membajak, kami melakukannya dengan cara dan kadar yang berbeda. Nggak apa, itu justru meningkatkan kesadaran kami untuk berbeda, tetapi tetap bisa sehati. Dan untuk menjadi sehati itu bukan perkara mudah. Semuanya penuh dinamika. Setelah tanah siap, tanaman disemai, kemudian merawatnya bersama sepanjang hayat, hingga berbuah pada saatnya, pada musimnya. 
Pohon itu, yang penting adalah daunnya tetap hijau, jangan sampai layu.

Kami sepakat untuk mempercayai prosesnya, bersabar dengan prosesnya dan bersabar juga dengan diri kami masing-masing, kepada satu sama lain. Di atas segalanya, mempercayai Tuhan sebagai penjaga jiwa kami.

Mudah? Ya, enggak juga sih.
Perkawinan kan bukan untuk setahun dua tahun..
Ini perjalanan seumur hidup, sampai maut memisahkan.

Back to film, film Marriage Story yang kami tonton bersama berakhir menggantung. Akhir ceritanya nggak tahu seperti apa, apa yang mereka putuskan. Namun di akhir cerita, ada adegan sang istri mengikat tali sepatu suaminya. Secara intuitif sepertinya menggambarkan tentang sikap penundukkan diri, agar tali sepatu suami (bisa) disimpulkan lagi.

Lebih jauh, mujizat Perkawinan di Kana mengingatkan kami, bahkan menggengam seluruh iman dan harapan kami. Di sini, dan sampai di sana, pada kekekalan. Selalu ada keajaiban kecil, besar, yang tersembunyi tetapi menyelesaikan dan memberi kemenangan. Kasih selalu menjadi pengikatnya.


Growing old together with you: YK.💓
And with Jesus Christ in us.

Saya merekomendasikan nasihat perkawinan penuh hikmat ini, yang saya sisipkan tautannya berikut:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar