02 November 2016

Otaknya (Jangan Taruh) di Pantat!



Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan pekerjaan yang baik. Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang.
(Rasul Paulus kepada Titus)


Oke. Akan ada demo besar tanggal 4 besok.
Soal? Nggak jelas. Kabarnya soal perkara penistaan agama yang dilakukan Gubernur Ahok. Penistaan agama gimana? Emangnya Pak Ahok bilang apa? Komen soal cara sholat? Cara berdoa? Bukan. Soal surat. Surat apa? Kenapa dengan suratnya? Suratnya dinista, apa penulis suratnya yang dinista? Trus, penulis suratnya mengguggat? Apaan sih?

Banyak orang juga enggak paham soal ini, duduk perkaranya gimana, asal-usulnya gimana, termasuk saya sampai seorang teman memberikan link ini kepada saya: 
http://porosjakarta.com/mobile/7617/soal-kalimat-ahok

Baru-baru ini, pakar Bahasa Indonesia, Ivan Lanin, membuat survei kecil-kecilan melalui akun twitternya yang diikuti oleh sejumlah follower-nya. Kesimpulannya adalah, bahwa yang paling penting dalam kemampuan berbahasa adalah menyimak. Sekali lagi me-nyi-mak.

Menyimak ini berkaitan dengan kemampuan olah kata, olah pikir, olah rasa, olah jiwa, olah budi. Ini semua bekerja pada tingkatan atas; daerah kampung atas (otak) dan daerah kampung tengah (hati). Jadi sekarang saya mengerti kenapa Tuhan taruh otak di atas, di kepala, bukan di pantat! Di atas artinya, agar semua pengetahuan yang kita serap (baik tentang pengetahuan yang baik dan buruk), berawal dari Atas; takut akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan, kemudian meluncur ke nurani dicerna lagi di sana, dan menghasilkan budi pekerti. Bukan di pantat, karena dari sana yang keluar kotoran melulu. Kotoran semua.

Jadi tulisan ini soal mau bela Pak Ahok? Bukan. Ini soal kemampuan menyimak tadi. Kemampuan menyimak itu multi dimensi. Di sinilah keluhuran kita sebagai manusia teruji. Karena cuma manusia yang punya kemampuan menyimak disertai nurani.

Sekarang berkaitan menyimak tadi,  jika yang jadi pusat siapa dan mengapanya adalah Pak Ahok, mari kita simak beberapa atribut tambahan beliau: WNI, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Kristen, Cina. Sengaja pakai kata "Cina" dan bukan "Tionghoa". Tapi karena kegagalan menyimak, kata “Kristen” dan “Cina” menjadi sangat resisten di negeri ini. Betul apa betul? Padahal, dalam pemerintahan yang kuat, fokus penilaian adalah pada kinerja terbaik. Bukan atribut-atribut nggak penting semacam itu.


Coba pikir. Coba simak:
Dulu, dulu, pernah nggak rakyat kota atau warga Jakarta tahu, kalau anggaran Pemrov DKI mencapai triliunan rupiah? (71 triliun? Apa lebih?) Itu keluar dari kran anggaran negara khusus untuk menyelesaikan blue print tata ruang kota dan segala tetek bengek Jakarta yang jadi pusat bisnis dan pemerintahan. Dengan anggaran sejumlah itu, mustinya enggak sulit dong untuk membangun lebih banyak jalan, taman, ruang terbuka hijau lengkap dengan CCTV dan WiFi? Mustinya enggak sulit dong untuk segera membenahi pemukiman warga dengan membangun lebih banyak rusun agar warga bisa hidup lebih bermartabat dimulai dari urusan papan atau tempat tinggal. Mustinya enggak sulit dong untuk memberikan bantuan atau subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mustinya dari dulu dong untuk lebih serius dengan urusan moda transportasi publik. Mustinya...mustinya...mustinya. Pak Ahok, memutus mata rantai itu menjadi cara kerja baru; "jendela publik" alias terlihat, transparan, terbuka.


Coba pikir lagi. Simak lagi:
Dari anggaran sebesar itu, mustinya dari dulu upaya untuk menanggulangi kebersihan kota dilaksanakan tanpa melupakan kesejahteraan mereka yang bekerja mengurusi ini. Apa lagi? Ohiya, banyak mesjid perlu direnovasi dan dibangun nih. Bahkan ternyata, para pengerja mesjidpun perlu disejahterakan batinnya dengan diberangkatkan umroh. Bukankah baik ada pemimpin peduli perkara begini, seperti Pak Ahok?

Tapi karena kegagalan menyimak tadi, banyak orang menilai tumpul terhadap apa yang baik tetapi menajamkan untuk apa yang tidak baik. Akhirnya kegagalan menyimak itu menghasilkan sinisme lebay; sebaik-baiknya apa yang dilakukan Yahudi atau Nasrani, mereka tidak akan ridha kalau kamu belum masuk menjadi agama mereka.

Astaghfirullah! Bukankah su’udzon itu dosa?

Kenapa sih kita kok enggak belajar untuk memahami apa yang Pak Ahok kejar; kebaikan dan perbuatan baik. Coba telusuri, dari mereka yang mengecap kebaikan dari sebuah kepemimpinan yang baik, adakah rakyat kota yang ujuk-ujuk jadi pindah agama? 

Atau ada nggak terdengar para koster gereja diberangkatkan ke Yerusalem dan Vatican, atau pekerja Vihara ke Tibet untuk ketemu Dalai Lama? Kalau terdengar begitu, lalu sinismenya menjadi; Pak Ahok mentang-mentang!


Coba pikir. Coba simak:
Kalau rakyat kota dari golongan tidak mampu sama sekali tidak mengalami perubahan apa pun dari sebuah kepemimpinan pemerintahan, untuk apa orang tersebut dipilih lagi? Untuk apa dibiarkan memimpin? Untuk apa kalau sebuah pemerintahan kota tidak memberikan manfaat lebih dan kebaikan jangka panjang bagi warga kotanya? Pak Ahok mempersilakan kita untuk tidak memilihnya lagi. (Bakal kita yang rugi, pemimpin baik dibuang!)

Sekarang, supaya kita tidak gagal menyimak, paling tidak, temukan kesamaan umum dari kemajemukan kita. Common ground dari kebhinekaan kita. Apa itu? Bahwa kita adalah SESAMA. Ras kita cuma satu: Human Race. Bahkan lebih lagi, kita adalah saudara. Berpijak pada tanah dan kultur negeri yang sama: Indonesia. Saudara, sekaligus Sesama. Cuma kita, manusia yang dilengkapi dengan nurani. Nurani ini kudu dijaga sepanjang hayat. Setiap kita harus mau dan harus bisa merawatnya. Supaya otak tidak salah tempat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar