Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang
yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan pekerjaan yang baik. Janganlah
mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah
dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang.
(Rasul Paulus kepada Titus)
(Rasul Paulus kepada Titus)
Oke. Akan ada demo besar tanggal 4 besok.
Soal? Nggak jelas. Kabarnya soal perkara penistaan agama yang dilakukan Gubernur Ahok. Penistaan agama gimana? Emangnya
Pak Ahok bilang apa? Komen soal cara sholat? Cara berdoa? Bukan. Soal surat. Surat
apa? Kenapa dengan suratnya? Suratnya dinista, apa penulis suratnya yang
dinista? Trus, penulis suratnya mengguggat? Apaan sih?
Banyak orang juga enggak paham
soal ini, duduk perkaranya gimana, asal-usulnya gimana, termasuk saya sampai
seorang teman memberikan link ini kepada saya:
http://porosjakarta.com/mobile/7617/soal-kalimat-ahok
Baru-baru ini, pakar Bahasa
Indonesia, Ivan Lanin, membuat survei kecil-kecilan melalui akun twitternya yang
diikuti oleh sejumlah follower-nya.
Kesimpulannya adalah, bahwa yang paling penting dalam kemampuan berbahasa
adalah menyimak. Sekali lagi me-nyi-mak.
Menyimak ini berkaitan dengan
kemampuan olah kata, olah pikir, olah rasa, olah jiwa, olah budi. Ini semua
bekerja pada tingkatan atas; daerah kampung atas (otak) dan daerah kampung
tengah (hati). Jadi sekarang saya mengerti kenapa Tuhan taruh otak di atas, di
kepala, bukan di pantat! Di atas artinya, agar semua pengetahuan yang kita
serap (baik tentang pengetahuan yang baik dan buruk), berawal dari Atas; takut
akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan, kemudian meluncur ke nurani dicerna lagi di sana, dan
menghasilkan budi pekerti. Bukan di pantat, karena dari sana yang keluar
kotoran melulu. Kotoran semua.
Jadi tulisan ini soal mau bela
Pak Ahok? Bukan. Ini soal kemampuan menyimak tadi. Kemampuan menyimak itu multi dimensi. Di
sinilah keluhuran kita sebagai manusia teruji. Karena cuma manusia yang punya
kemampuan menyimak disertai nurani.
Sekarang berkaitan menyimak tadi,
jika yang jadi pusat siapa dan mengapanya adalah Pak Ahok,
mari kita simak beberapa atribut tambahan beliau: WNI, Gubernur Provinsi DKI
Jakarta, Kristen, Cina. Sengaja pakai kata "Cina" dan bukan "Tionghoa". Tapi karena kegagalan menyimak, kata “Kristen” dan “Cina”
menjadi sangat resisten di negeri ini. Betul apa betul? Padahal, dalam
pemerintahan yang kuat, fokus penilaian adalah pada kinerja terbaik. Bukan atribut-atribut
nggak penting semacam itu.
Coba pikir. Coba simak:
Dulu, dulu, pernah nggak rakyat
kota atau warga Jakarta tahu, kalau anggaran Pemrov DKI mencapai triliunan
rupiah? (71 triliun? Apa lebih?) Itu keluar dari kran anggaran negara khusus
untuk menyelesaikan blue print tata
ruang kota dan segala tetek bengek Jakarta yang jadi pusat bisnis dan
pemerintahan. Dengan anggaran sejumlah itu, mustinya enggak sulit dong untuk
membangun lebih banyak jalan, taman, ruang terbuka hijau lengkap dengan CCTV
dan WiFi? Mustinya enggak sulit dong untuk segera membenahi pemukiman warga
dengan membangun lebih banyak rusun agar warga bisa hidup lebih bermartabat
dimulai dari urusan papan atau tempat tinggal. Mustinya enggak sulit dong untuk
memberikan bantuan atau subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang
mampu. Mustinya dari dulu dong untuk lebih serius dengan urusan moda
transportasi publik. Mustinya...mustinya...mustinya. Pak Ahok, memutus mata rantai itu menjadi cara kerja baru; "jendela publik" alias terlihat, transparan, terbuka.
Coba pikir lagi. Simak lagi:
Dari anggaran sebesar itu, mustinya
dari dulu upaya untuk menanggulangi kebersihan kota dilaksanakan tanpa
melupakan kesejahteraan mereka yang bekerja mengurusi ini. Apa lagi? Ohiya,
banyak mesjid perlu direnovasi dan dibangun nih. Bahkan ternyata, para pengerja
mesjidpun perlu disejahterakan batinnya dengan diberangkatkan umroh. Bukankah baik ada pemimpin peduli perkara begini, seperti Pak Ahok?
Tapi karena kegagalan menyimak
tadi, banyak orang menilai tumpul terhadap apa yang baik tetapi menajamkan
untuk apa yang tidak baik. Akhirnya kegagalan menyimak itu menghasilkan sinisme
lebay; sebaik-baiknya apa yang dilakukan Yahudi atau Nasrani, mereka tidak akan
ridha kalau kamu belum masuk menjadi agama mereka.
Astaghfirullah! Bukankah su’udzon
itu dosa?
Kenapa sih kita kok enggak belajar
untuk memahami apa yang Pak Ahok kejar; kebaikan dan perbuatan baik. Coba telusuri, dari mereka yang mengecap
kebaikan dari sebuah kepemimpinan yang baik, adakah rakyat kota yang ujuk-ujuk
jadi pindah agama?
Atau ada nggak terdengar para koster
gereja diberangkatkan ke Yerusalem dan Vatican, atau pekerja Vihara ke Tibet
untuk ketemu Dalai Lama? Kalau terdengar begitu, lalu sinismenya menjadi; Pak Ahok mentang-mentang!
Coba pikir. Coba simak:
Kalau rakyat kota dari golongan tidak
mampu sama sekali tidak mengalami perubahan apa pun dari sebuah kepemimpinan
pemerintahan, untuk apa orang tersebut dipilih lagi? Untuk apa dibiarkan
memimpin? Untuk apa kalau sebuah pemerintahan kota tidak memberikan manfaat lebih
dan kebaikan jangka panjang bagi warga kotanya? Pak Ahok mempersilakan kita untuk tidak memilihnya lagi. (Bakal kita yang rugi, pemimpin baik dibuang!)
Sekarang, supaya kita tidak gagal menyimak,
paling tidak, temukan kesamaan umum dari kemajemukan kita. Common ground dari kebhinekaan kita. Apa itu? Bahwa kita adalah
SESAMA. Ras kita cuma satu: Human Race. Bahkan lebih lagi, kita adalah saudara. Berpijak pada tanah dan kultur negeri yang sama: Indonesia. Saudara, sekaligus Sesama. Cuma kita, manusia yang dilengkapi dengan nurani.
Nurani ini kudu dijaga sepanjang hayat. Setiap kita harus mau dan harus bisa
merawatnya. Supaya otak tidak salah tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar