Berani Ketawa ala Jakarta
gambar: dari netizen, twitter, google image, @bukik, @ReneCC |
Tidak ada yang dapat memprediksi, tidak akan pernah terduga apa, bagaimana dan kapan sebuah peristiwa (akan) terjadi.
Siang, 14 Januari 2016, Jakarta kedatangan
tamu tak dikenal yang secara sangat
tidak sopan dan manusiawi menampar keras kami, tuan rumah kota ini dan memberi
kami makan siang dengan menu senjata dan darah. Jakarta, diserang aksi teror!
Namun, secara mengejutkan pula, kami
memberi mereka, si tamu-tamu kurang ajar ini, respon balik yang memojokkan
kepengecutan mereka. Secara bersamaan dan serentak, hati kami melawan, tidak
rela rumah kediaman kami, kota kami, didatangi orang asing yang merampas
kedamaian dan ketenangan hati. Ah, terlalu sopan kalau kita menyebut mereka tamu.
Mari kita sebut mereka maling! Siang-siang maling! Maling nyawa.
Hati kami makin satu dengan kesadaran
penuh bahwa nyawa lepas nyawa, kepala lepas kepala, nama lepas nama, pribadi
lepas pribadi, yang menjadi satu keluarga di Jakarta ini, membutuhkan rantai
dukungan untuk mematahkan segala bentuk ketakutan yang si maling nyawa sebarkan.
Karenanya, kami saling menularkan sikap
berani, dalam kapasitas dan intensitas sebanyak yang dibutuhkan untuk
menihilkan efek teror ini, serta menaruh percaya kepada mereka yang menempatkan
dirinya di garda depan, untuk melindungi dan menjaga kota dan negeri kami. Dan siang
itu, kami berhasil melakukannya. Sepanjang siang sampai menjelang petang. Tapi,
bukannya maling kalau tidak ada yang diambil. Mereka berhasil mengambil dari
kami―Tuhan
tidak mengijinkan mereka mendapatkan banyak―, melukai beberapa dari kami,
dan sungguh nista, seperti butuh mata dan panggung teater untuk disaksikan, mereka juga merenggut nyawanya sendiri,
tanpa hormat mengambil wewenang Sang Ilahi.
Tetapi kemudian (saat peristiwa
itu terjadi), kami juga menyaksikan justru banyak tawa bertebaran di sekitar
kami. Aneh rasanya tapi itulah yang terjadi. Mungkin benar kata orang, cuma ada
di sini. Rasanya jadi seperti berani ketawa ala Jakarta. Di tengah aksi teror
siang itu, duh, Pak Jamal penjual sate Sarinah, tetap menjual sate,
mengipas-ngipas potongan daging ayam yang terpanggang, bahkan ketika peristiwa
itu terjadi hanya ratusan meter dari tempatnya berdiri. Kepolosanmu Pak, dalam memandang
dan menjalani hari-hari membuat anugerah berupa “KAMITIDAKTAKUT” menjadi bukti
nyata tentang kekuatan keberanian itu sendiri dan kekalahan ketakutan itu
sendiri. Sikapmu, seperti gayung bersambut manakala pemimpin kota dan negeri
kami juga menyuarakan dengan lantang sikap dan jiwa yang sama: jangan takut, dan
jadilah kuat! Berharap, jiwa berani dan kesatuan ini menggema sampai ke
seantero negeri, menjadi nyawa untuk #IndonesiaSatu #IndonesiaKuat. Sekarang
dan seterusnya.
#KamiTidakTakut #JakartaBerani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar