30 Maret 2013

Cahaya Penebusan


http://commons.wikimedia.org. look into the light



















Pagi masih gelap, dan kota masih lengang ketika aku sampai di sana. Bulan di langit juga masih bulat, memberi efek dramatis pada Jumat Agung ini. Mirip Kota Gotham di film Batman. Jalanan aspal yang diapit pohon-pohon pinus memberi hawa segar bersama kabut tipis yang masih menyebar.

Dia, sudah ada di sana. Menungguku.

Perasaanku ngilu, sedih, seperti ada sesuatu yang akan lenyap dari antara kami.  Kami selalu bersama-sama selama tiga puluh tiga tahun. Dan ini saatnya kami berpisah. Sebelum kami sampai ke saat itu, ia akan memberiku sesuatu. Sesuatu yang abadi, katanya. Dan segenap jati diriku bersiap untuk itu.

Dia pun mulai membuka tentang dirinya..

“Aku berasal dari Kerajaan Terang. Tapi kini koloniku tinggal sedikit. Aku adalah angkatan yang terakhir. Kami dulu adalah tawanan Raja Kegelapan. Kami dimasukkan ke dalam penjara yang amat gelap. Tempat yang sangat kelam di mana tak ada sama sekali cahaya. Demi mempertahankan kami, raja kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk membebaskan kami, dan membuat kerajaannya abadi.

Saat itu hanya ada Sang Nissi, putra tunggal raja yang akan menjadi kurban tebusan kami. Raja Kegelapan terlalu kuat untuk dikalahkan sehingga hanya Sang Nissilah yang sanggup menghadapinya. Dan ia rela mati, menukarnya dengan nyawa kami agar kami tetap hidup. Sang Nissi turun ke dalam Kerajaan Kegelapan. Itu Jumat yang mengerikan. Peristiwa paling berdarah yang pernah ada dalam sejarah bumi. Kami menyaksikan tubuh Sang Nissi disiksa dan ditikam, disalib, urat nadinya diputus perlahan sehingga ia mati pelan-pelan. Darahnya menutupi semua dinding kegelapan, dan kematiannya yang agung membuat langit menderu hingga menimbulkan gempa yang mengguncangkan bumi. Semua bahkan menjadi lebih gelap..”

Cerita itu membuat tulang-tulangku terasa ngilu..

“Pada hari yang ketiga, setelah kematian Sang Nissi, sebuah cahaya menyeruak masuk dengan dahsyatnya,  sehingga saat itu juga terbukalah pintu-pintu penjara di Negeri Kegelapan. Kami keluar, berhamburan ke udara dengan tubuh yang menjadi seperti ini. Bercahaya. Dan dengan cahaya itu pula kami kembali ke Negeri Terang. Raja berkata, bahwa putranya, Sang Nissi telah bangkit dari maut kegelapan, mengalahkan kegelapan itu, dan memecahkan cahaya dalam tubuhnya untuk berdiam di dalam kami dan dengan cara itulah dia membawa kami pulang.”

Aku takjub!

“Dengan cahaya Sang Nissi di dalam tubuh kami, raja mengutus kami untuk menyebarkan lebih banyak cahaya kepada manusia di bumi. Tidak semua dapat menerimanya. Hanya orang-orang terpilih, dan kau salah satunya. Sekaranglah saatnya, sebelum fajar menyingsing.”
Tiba-tiba separuh hatiku terasa hilang. Kami benar-benar akan berpisah di hari ini. Saat ini. Sekarang.

“Pejamkan matamu.” Ia berbisik di telingaku. Aku memejamkan mataku. Dalam hitungan detik, aku merasa diriku masuk ke dalam satu dimensi cahaya. Hanya ada cahaya. Kemudian, cahayanya menyapu bibirku lembut dalam satu gerakan yang berirama. Dari sudut bibir yang satu sampai ke sudut bibir yang satu. Penuh. Rasanya seperti tersengat setrum kecil.

“Sudah selesai, bisiknya. Aku menaruhnya dalam mulutmu.”

 Aku membuka mataku, menatap matanya yang persis di depan mataku, dengan perasaan tak rela kalau ia pergi.

“Aku tidak pergi. Cahaya penebusanku ada dalam dirimu. Cahaya yang membuatku hidup, harus tetap hidup agar semua tak meredup.” Ia memberi stempel Kerajaan Terang di atas permukaan kulit tanganku.

“Tanda ini tidak dapat lenyap. Kau akan menemukan tanda seperti ini juga pada orang-orang terpilih lainnya. Cahaya penebusan itu tidak selalu ditaruh di dalam mulut. Mungkin nanti kau akan mendapatinya di telinga orang-orang terpilih, di mata, di kaki dan tangan agar semua cahaya itu bersinergi menjadi satu tubuh untuk melawan kegelapan, dan semua hidup dalam perubahan. Kau akan mengerti maknanya nanti. Lanjutkanlah cahayaku agar itu abadi, dan kegelapan tidak dapat menguasainya lagi.”

Dia pun lenyap, seiring dengan pagi yang mulai merayap. Namun cahayanya telah di dalamku. Tetap di dalamku. Dan kata-kata dari bibirku takkan pernah sama lagi. Aku pewarta cahaya kini dan nanti.




#Jumat Agung
Terinspirasi oleh kunang-kunang dan kisah Yesaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar