01 Desember 2012

Dahsyatnya (Kekuatan) Moral Brand



Ariel NOAH kembali ke panggung musik dan tetap dicintai.
(Musiknya, kejujurannya, rasa humanisnya yang tertuang dalam buku Kisah Lainnya mengubah dan menggiring sudut pandang dan persepsi publik terhadap dirinya ke “saat ini”, bukan ke “saat itu”).

Jokowi jujur, sederhana dan pro rakyat.
(Publik memandangnya “yang ini beda”. Karena dia memang benar-benar berbeda dari banyak calon yang ada pada ajang pilkada Jakarta. Dan itu mengantarnya ke kursi gubernur ibukota).

Obama luwes berdiplomasi.
(Satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang berasal dari ras yang berbeda. Keluwesannya berdiplomasi dengan Dunia Islam menyedot banyak simpati. Dan ia terpilih kembali, meskipun sebenarnya ia "dituntut" untuk tetap mesra dengan Israel).

Dahlan Iskan berani dan frontal.
(Ia menguak barisan dan merepresentasikan: “menteri seharusnya begini”. Itu membuatnya populer).

Mahfud MD mencintai hukum.
(Seperti oasis di dunia hukum tanah air yang mati suri. Publik percaya padanya).

Nadya Hutagalung konsisten perkataan dan lakunya.
(Selebriti dunia yang menjadi icon untuk kesederhanaan adalah kekuatan. WWF memilihnya menjadi duta lingkungan hidup).

Aburizal Bakrie berasosiasi dengan lumpur Lapindo.
(Dinasti Bakrie, Golkar, Capres dan Lapindo. Publik serta-merta mengingat dan mencatat kaitan ini).


Memang terdengar tak logis dan sangat relatif, tapi intinya, merek moral (moral brand) bisa menjadi suatu kekuatan dahsyat yang membuat sebuah merek (produk atau personal) dipercakapkan, menjadi “pemimpin opini”, dan "idola" dalam pertarungan memenangkan pasar dan hati publik. 

Intisarinya adalah sajikan produk “kebenaran”. Bukan citra palsu atau yang dibuat-buat. Karena yang palsu, jika itu menyangkut personal brand atau institusi yang diwakili oleh pribadi, yang bersangkutan otomatis menjadi olok-olok publik. Dan jika itu produk, produk tersebut menjadi celaan yang merusak reputasi organisasi.

Mungkin, strategi pemasaran kini memang mau tak mau harus mengalami pergeseran, di tengah kenyataan bahwa publik menginginkan sesuatu yang berbeda, jujur, dan bahwa pada akhirnya hati umat manusia telah menjadi muak dengan kepalsuan. Portfolio produk (barang atau pun personal) bukan lagi menyasar demografi atau gaya hidup, tetapi lebih dimotivasi pada apakah itu “baik”, “buruk” dan bersandar pada suasana hati konsumen atau publik. Terlebih lagi, media sosial terutama twitter, menjadi salah satu perwujudan atas kekuasaan publik yang memiliki kekuatan untuk mengungkapkan representasi palsu dan perlakukan buruk. 

Pengalaman “baik”, “buruk”, “jahat”, “benar”, “salah”, “merugikan”, “menyenangkan” yang dialami konsumen atau publik terhadap suatu produk barang atau personal menjadi argumen yang tidak dapat dibantah. Apa yang dikatakan orang tentang sesuatu atau seseorang, pada akhirnya menjadi sesuatu yang memengaruhi konsumen atau publik ketika memutuskan untuk membeli atau memilih. Dan akhirnya, loyalitas pelanggan atau publik menjadi konsisten “hanya jika” merek juga konsisten dengan bawaan (pesan) moralnya.

Mungkin Apple bisa menjadi contoh konkrit. Selain bentuk buah apelnya yang menggoda, perangkatnya yang menyihir juga selalu konsisten menggoda. Pernah dengar Apple dicaci maki oleh konsumennya? 

Lalu ada Mahatma Gandhi. Evita Peron, dan Soekarno yang menjadi icon Indonesia. Pernah lihat pemimpin yang dekat dengan rakyatnya ditinggalkan? 

Intinya, jangan bo’ong.
Produk Anda adalah pesan Anda. Dan pesan Anda adalah diri Anda.



2 komentar:

  1. Artikel yang menarik, Bolek dimari kalau butuh jasa pengecatan. KEREN Blog dan Artikelnya Saya banyak baca tentang Ilmu Brandingnya disini.

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak sudah mampir ke taman dan mendapatkan manfaatnya. Baiklah, nanti saya hubungi ya, atau infokan ke teman-teman kalau membutuhkan jasa pengecatan cat :)

    Salam taman,
    Edenia

    BalasHapus