Masalah ada bersamaan dengan jalan
keluarnya.
Kalimat itu ditulis oleh teman saya
saat kami chating, hampir 10 tahun yang lalu. Teman saya juga bilang, kalau
masalah itu sebenarnya adalah kontrol buat manusia. Kedengarannya klise, tapi
benar. Kenapa? Karena manusia memang selalu minta diajar, dan sulit belajar
benar.
Ma-sa-lah = Manusia-suka (bikin)
salah. See?
Rick Warren, penulis buku Purpose
Driven Life mengatakan, sebagian besar, hampir 99 persen hidup ini berisi ujian
tentang bagaimana kita menanggapi (segala sesuatu). Dan masalah hanya sebuah
pintu menuju ujian itu.
Saya menyukai fotografi. Saya kerap
melihat foto-foto terbaik dari hasil jepretan para fotografer dunia.
Kadang-kadang, saya membuka situs National Geographic untuk menikmati foto-foto
yang sempurna. Dan saya juga membaca kisah-kisah di balik pengambilan
gambar-gambar tersebut.
Para fotografer ini kerap ―harus― berada dalam
medan dan situasi yang ekstrem untuk mendapatkan bidikan yang tepat dan hasil
yang sempurna. Mungkin mereka menungging, bertiarap, memanjat pohon, berlindung
di balik sebuah rumah kecil di daerah kutub dan memanfaatkan celah yang sempit
untuk menangkap wajah beruang atau macan salju, atau harus berbecek-becek,
bersahabat dengan debu gurun pasir, dan berupaya untuk mengenali setiap situasi
dan medan geografis yang mereka hadapi. Semua, hanya demi mendapatkan angle
terbaik. Dan malah, hasil yang sempurna tidak selalu didapat dalam satu kali
jepretan, melainkan setelah sekian ratus jepretan.
Kita semua berhadapan dengan segala
sesuatu yang berpotensi menjadi masalah. Entah karena kita tak paham bagaimana
cara menempatkannya, entah karena orang lain yang melakukan itu, entah karena
kebodohan atau kesengajaan kita. Banyak faktor. Tapi, masalah-masalah itu
menawarkan kita kesempatan untuk memiliki angle terbaik. Tergantung bagaimana
cara kita memandangnya.
Cita-cita, sasaran, impian, pencapaian, relasi, dan
lain-lain, ini semua adalah “objek” di depan kita yang sedang kita bidik.
Beberapa di antaranya mungkin berada dalam titik, situasi, jarak pandang, atau
jangkauan gambar ―apapun istilahnya― yang mengharuskan kita melakukan satu
langkah ekstrim, untuk mengatur “zoom” dan “komposisi” yang tepat. Memang, seringkali
tidak nyaman, dan itu menuntut kesabaran dan ketabahan kita. Berita baiknya
adalah, semua akan menghasilkan output yang sempurna. Bagi pengembangan
karakter kita, itu sudah pasti. Bagi kematangan cara berpikir, kedewasaan
sikap, kemurnian hati, ketangguhan iman, pelebaran kasih, perluasan cinta.. yang
pasti, kita semua menginginkan akhir cerita, selalu lebih baik dari awalnya,
bukan? Sepanjang kita tidak mengenyampingkan Tuhan, masalah bisa jadi jalan
berkah.
Jangan pernah kehilangan perspektif
angle.
Anda dan saya, sangat memerlukannya.
good. kalau manusia mengerti soal perspektif ini dan sll melihat ada kebaikan di tiap masalah (setlh mlewati masalah2 sebelumnya) mestinya tidak ada lg yg galau2 sampai jd gila, bunuh diri, atau bahkan korupsi ya...
BalasHapusFrid, makasih ya masih sempat mampir ke taman.
HapusBetul, perspektif yang luas, itu yang kita perlukan. Aku juga masih belajar. Selalu.
Dan tiapkali dapat perspektif baru untuk tiap sikon berat,.."nendang" rasanya. Jadi penuh vitalitas (lagi!) :)