Beberapa literatur menuliskan bahwa sebenarnya kata Minal Aidin wal Faizin (ini merupakan penulisan yang benar dalam ejaan Bahasa Indonesia) tidak berhubungan langsung bahkan bukan diartikan sebagai kata Mohon Maaf Lahir Batin. Sebenarnya, kalimat tersebut merupakan doa: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin yang diucapkan sebagai bentuk dorongan, dukungan, harapan dan iman dari orang-orang (umat) yang tengah berpuasa. Yang diartikan sebagai, "kiranya Tuhan berkenan atas ibadah kita. Kiranya Tuhan membawa kita kepada fitrah sejati: sebagai umat pemenang."
Puasa.
Mari kita telusuri sejenak.
Kata puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta yakni: upa dan wasa. Upa adalah semacam perfiks yang artinya dekat, sedangkan wasa berarti Yang Maha Kuasa. Upawasa yang dilafalkan puasa, merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Semua agama di dunia ataupun semua praktek spiritual telah mengenal dan melakukan puasa sejak ribuan tahun lalu. Bentuk yang paling lazim adalah tidak makan dan minum atau berpantang terhadap sesuatu untuk suatu periode waktu tertentu. Atau menahan diri terhadap sesuatu yang biasanya dilakukan namun tidak dilakukan dulu selama waktu tertentu. Tentu, praktek ini bertujuan.
Mari kita telusuri sejenak.
Kata puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta yakni: upa dan wasa. Upa adalah semacam perfiks yang artinya dekat, sedangkan wasa berarti Yang Maha Kuasa. Upawasa yang dilafalkan puasa, merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Semua agama di dunia ataupun semua praktek spiritual telah mengenal dan melakukan puasa sejak ribuan tahun lalu. Bentuk yang paling lazim adalah tidak makan dan minum atau berpantang terhadap sesuatu untuk suatu periode waktu tertentu. Atau menahan diri terhadap sesuatu yang biasanya dilakukan namun tidak dilakukan dulu selama waktu tertentu. Tentu, praktek ini bertujuan.
Dalam segi rohani, puasa ditujukan untuk menyatakan perkabungan atau sedang dalam keadaan duka, menyatakan pertobatan, melatih mental dan jiwa, menguatkan roh, menyiapkan diri untuk sebuah tugas besar atau sesuatu yang penting, atau meminta belas kasihan dan pertolongan Tuhan untuk suatu pemulihan keadaan.
Namun puasa juga kerap dilakukan dalam dunia kedokteran. Karena alasan medis, seorang pasien diharuskan berpuasa selama beberapa jam sebelum suatu tindakan medis selanjutnya dilakukan. Biasanya, aturan ini berlaku saat seorang pasien akan menjalankan sebuah operasi besar atau pemeriksaan laboratorium. Artinya, tindakan medis yang sedang atau akan dilakukan berkolerasi dengan tindakan medis selanjutnya. Satu tindakan selalu mendukung tindakan lainnya. Selalu begitu. Saling berkait. Dan semua rangkaian tindakan tersebut berujung pada satu hal: pemulihan si pasien. Kesembuhan.
Dari segi manapun itu, puasa selalu berujung pada sebuah perubahan.
Dalam kaitannya dengan Ramadhan, tentu sebagai orang beriman, yang kita harapkan bersama adalah pemulihan jiwa. Pemulihan roh. Karena hakekatnya, sebuah kehidupan dimulai dari sana: dari dalam ke luar. Roh membungkus jiwa dan kemudian menggerakkan raga. Jika roh (dan jiwa) yang paling inti itu sakit, kehidupan tidak akan menjadi bugar. Akibatnya, tidak ada energi kehidupan yang terpancar. Lesu, terpenjara, terkungkung, dan tidak bertumbuh. Stag. Jalan pemulihannya adalah, pertama-tama kita perlu mengenali sakitnya. Darimana berawal, dan apa yang menyebabkan sakit. Seringkali, justru sakit di dalam yang paling memerlukan banyak waktu dan proses panjang untuk menuju pemulihan. Yang perlu diingat adalah tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan. Mau sembuh, itu kuncinya.
Dalam kaitannya dengan Ramadhan, tentu sebagai orang beriman, yang kita harapkan bersama adalah pemulihan jiwa. Pemulihan roh. Karena hakekatnya, sebuah kehidupan dimulai dari sana: dari dalam ke luar. Roh membungkus jiwa dan kemudian menggerakkan raga. Jika roh (dan jiwa) yang paling inti itu sakit, kehidupan tidak akan menjadi bugar. Akibatnya, tidak ada energi kehidupan yang terpancar. Lesu, terpenjara, terkungkung, dan tidak bertumbuh. Stag. Jalan pemulihannya adalah, pertama-tama kita perlu mengenali sakitnya. Darimana berawal, dan apa yang menyebabkan sakit. Seringkali, justru sakit di dalam yang paling memerlukan banyak waktu dan proses panjang untuk menuju pemulihan. Yang perlu diingat adalah tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan. Mau sembuh, itu kuncinya.
Jika untuk pemulihan diri, maka Ramadhan merupakan momen spiritual untuk mengenali (rasa) sakit yang kita rasakan. Sakit dan terluka (batin) adalah hal yang sangat manusiawi. Karena toh Tuhan juga menciptakan manusia dan melengkapinya tidak hanya dengan akal dan pikiran tapi juga menganugerahkan hati. Dan hati ini dapat terluka. Dan itu, menyakiti dan disakiti menjadi bagian dari kehidupan yang terus berlangsung. Mengapa? Karena manusia sudah berdosa. Manusia tahu bagaimana menyakiti sesamanya bahkan dirinya sendiri. Manusia adalah mahkluk yang selalu ingin memenangkan ego-nya. Lalu, apa obatnya?
Pengampunan.
Memaafkan.
Pengampunan.
Memaafkan.
Itu selalu menjadi awal dari pemulihan.
Namun, tidak setiap kita bisa dengan benar melakukannya. Kebesaran hati, ketulusan, kesungguhan untuk mengampuni selalu membutuhkan pertolongan Ilahi. Itu sebabnya, Ramadhan, --berpuasa selama satu bulan-- adalah sebuah “pelatihan” diri untuk menjadi pribadi yang berkemenangan. Ramadhan adalah sebuah pengakuan diri dengan kerendahan hati, bahwa mengampuni sesuatu, seseorang bahkan diri kita sendiri tak pernah bisa kita lakukan dengan kekuatan sendiri tanpa pertolongan Ilahi. Oleh karenanya, kita memohon untuk disiapkan, dimampukan, dikuatkan.
Namun, tidak setiap kita bisa dengan benar melakukannya. Kebesaran hati, ketulusan, kesungguhan untuk mengampuni selalu membutuhkan pertolongan Ilahi. Itu sebabnya, Ramadhan, --berpuasa selama satu bulan-- adalah sebuah “pelatihan” diri untuk menjadi pribadi yang berkemenangan. Ramadhan adalah sebuah pengakuan diri dengan kerendahan hati, bahwa mengampuni sesuatu, seseorang bahkan diri kita sendiri tak pernah bisa kita lakukan dengan kekuatan sendiri tanpa pertolongan Ilahi. Oleh karenanya, kita memohon untuk disiapkan, dimampukan, dikuatkan.
Maka, ketika kita siap untuk melepaskan pengampunan kepada segala hal (hitam) yang pernah terjadi dengan kebesaran dan ketulusan hati, kita menghampiri diri kita, dan mereka yang pernah menoreh luka dengan jabat tangan diikuti pengakuan mulut: Maafkan, Lahir Batin, dengan muka berseri. Dan di situlah letak kemenangan itu.
Kemenangan untuk membuka hati dan menerima anugerah Ilahi sehingga sanggup dan mau mengampuni. Inilah perayaan itu. Perayaan bagi Pelepasan Pengampunan.
Kemenangan untuk membuka hati dan menerima anugerah Ilahi sehingga sanggup dan mau mengampuni. Inilah perayaan itu. Perayaan bagi Pelepasan Pengampunan.
Perayaan bagi Pemulihan Diri.
Perayaan bagi Kemerdekaan Jiwa.
Perayaan bagi Kemenangan Batin.
Perayaan bagi Kemerdekaan Jiwa.
Perayaan bagi Kemenangan Batin.
Lalu,
Apa hubungannya perayaan kemenangan jiwa dengan baju baru, makanan serba mewah yang terhidang? Sungguh, tidak ada!
Apa hubungannya perayaan kemenangan jiwa dengan baju baru, makanan serba mewah yang terhidang? Sungguh, tidak ada!
Beberapa hari lalu, saya pulang dari kantor naik taksi, karena membawa kue tart untuk ibu saya yang berulang tahun. Supir taksi dan saya terlibat dalam obrolan asyik. Saat itu, pak supir curcol kalau sebetulnya, dia sedang mumet. Pasalnya, Lebaran tinggal di depan mata, tapi ia tak punya uang yang cukup. Saya nggak paham dengan maksudnya tidak memegang uang cukup untuk Lebaran nanti. Tapi untuk menghalau kegalauannya, saya sampaikan, bahwa semustinya Lebaran itu jangan pernah dijadikan beban. Tuhan nggak melihat apa yang kita pakai atau apa yang ada di meja makan kita. Tuhan nggak meminta kita untuk menyiapkan ini-itu. Kitalah (manusia) yang kerap membuat pengukuran sendiri. Yah, tampaknya pak supir cukup terhibur. Mudah-mudahan begitu.
Sayangnya, yang terjadi kini adalah makna dari Minal Aidin wal Faizin (kiranya Tuhan berkenan atas ibadah kita) makin bergeser jauh, seiring dengan gempuran kemapanan budaya yang makin aneh. Mapan tapi aneh. Kita malah semakin tidak tahan uji, dan termakan oleh gaya hidup yang semata memperkaya aspek jasmaniah. Bukan batiniah. Hidangan berbuka yang beragam di meja makan, harus pakai baju baru di Hari Lebaran. Dan, Oh My God (!) di twitter kemarin saya dapat info kalau nilai belanja masyarakat dengan kartu kredit selama bulan Ramadhan (puasa!) mencapai 557 miliar rupiah per hari (!)
Ini namanya ulah jati kasilih ku junti benar-benar jauh dari penggenapan.
Yang ada justru sebaliknya, manusia makin termakan jaman.
Toh, saat kita berjabat tangan dengan orang lain, bertemu dan bersilaturahmi pada momen-momen perayaan, kita tidak akan dihakimi oleh karena apa yang kita pakai. Orang tidak akan berkata bahwa baju yang kita pakai itu-itu melulu. Kalaupun ada yang mengatakannya, paling-paling berucap dalam hati. Benar? Lalu apa lantas kita menjadi kalah dengan itu?
Yang ada justru sebaliknya, manusia makin termakan jaman.
Toh, saat kita berjabat tangan dengan orang lain, bertemu dan bersilaturahmi pada momen-momen perayaan, kita tidak akan dihakimi oleh karena apa yang kita pakai. Orang tidak akan berkata bahwa baju yang kita pakai itu-itu melulu. Kalaupun ada yang mengatakannya, paling-paling berucap dalam hati. Benar? Lalu apa lantas kita menjadi kalah dengan itu?
Memang, untuk sebuah perayaan bolehlah suasana lahiriah menjadi sedikit berbeda.
Tapi jangan sampai bersusah hati dan menampik rasa syukur jika tampilannya begitu sederhana. Karena sesungguhnya, manusia itu tidak akan pernah berkekurangan, kalau kita tahu dan mengenal betul bagaimana Tuhan memelihara kita. Kenyataannya adalah, saat Tuhan menjadikan langit dan bumi serta isinya, Dia terlebih dulu menciptakan semua tumbuhan, biji-bijian ataupun kacang-kacangan dan hewan, di udara, laut dan daratan. Ketika semuanya lengkap dan baik adanya, Dia baru menciptakan manusia dan memberinya mandat untuk memelihara dan mengelola.
Jadi, jika dana rumah tangga terbatas untuk membuat ketupat dan opor ayam, percayalah, Tuhan takkan kehabisan cara untuk menjadikannya ada. Selalu ada orang-orang yang Tuhan gerakan untuk mengirimkannya kepada kita. Kalau cuma sekadar mencicipi, toh sepiring saja cukup bukan?
Tapi jangan sampai bersusah hati dan menampik rasa syukur jika tampilannya begitu sederhana. Karena sesungguhnya, manusia itu tidak akan pernah berkekurangan, kalau kita tahu dan mengenal betul bagaimana Tuhan memelihara kita. Kenyataannya adalah, saat Tuhan menjadikan langit dan bumi serta isinya, Dia terlebih dulu menciptakan semua tumbuhan, biji-bijian ataupun kacang-kacangan dan hewan, di udara, laut dan daratan. Ketika semuanya lengkap dan baik adanya, Dia baru menciptakan manusia dan memberinya mandat untuk memelihara dan mengelola.
Jadi, jika dana rumah tangga terbatas untuk membuat ketupat dan opor ayam, percayalah, Tuhan takkan kehabisan cara untuk menjadikannya ada. Selalu ada orang-orang yang Tuhan gerakan untuk mengirimkannya kepada kita. Kalau cuma sekadar mencicipi, toh sepiring saja cukup bukan?
Saban perayaan Lebaran tiba, kami sekeluarga tak pernah absen menikmati ketupat dan opor ayam, padahal ibu hampir tak pernah mengkhususkan diri untuk membuatnya. Dari mana? Para tetangga!
Mari, maknai lebih dalam Minal Aidin wal Faizin:
Kiranya Tuhan berkenan atas ibadah kita, dan menjadikan kita pribadi yang menang!
Jika setiap kita memahaminya lebih sungguh, Indonesia pasti menang. Merdeka jiwa-raga. Tentram makmur lahir-batin.
Kiranya Tuhan berkenan atas ibadah kita, dan menjadikan kita pribadi yang menang!
Jika setiap kita memahaminya lebih sungguh, Indonesia pasti menang. Merdeka jiwa-raga. Tentram makmur lahir-batin.
Selamat Idul Fitri.
Selamat Merdeka Jiwa.
Referensi Literatur:
Fastabiqul Khairot-Kaskus (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10291384)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar