Moment.
Setiap kita, mengerti maksud kata itu. Dan mengalaminya juga. Apa pun itu, moment mengantarkan kita kepada sesuatu, atau membuat kita memiliki sesuatu, mengingat sesuatu, atau melakukan sesuatu demi sesuatu. Pastinya, ada sesuatu yang terbungkus dalam sebuah moment. Dan itu terus berlangsung. “Moment” tidak pernah tidak hadir dalam rentang kehidupan kita—bukan sejak kita lahir, tapi mungkin tepatnya sejak kita mampu berpikir dan merasa. Maka kita tahu, apa yang bermakna di dalam sebuah moment.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, momen (ditulis tanpa huruf “t” tentu saja), didefinisikan sebagai sebuah periode waktu yang singkat, saat. Di atas definisinya tertulis “noun”. Artinya benda, atau bersifat kebendaan atau mengandung kata benda. Bisa dimengerti, karena momen (untuk selanjutnya saya tulis tanpa huruf “t”) memang membuat kita jadi memiliki sesuatu, meskipun sesuatu itu tidak selalu berwujud benda, yang bisa disentuh, dipegang, dan diraba. Sesuatu itu bisa saja wujudnya abstrak, tak terlihat tapi nyata dan bersinggungan dengan perasaan kita. Nyata dalam batin kita, menyentuh hati kita, mengendap dalam pikiran kita, memori kita―daya jangkau ingatan kita. Sehingga ketika sesuatu yang abstrak tadi menjadi kenangan, itu dapat dipanggil keluar dari ruang penyimpanan di otak kita, dan… kita mengingatnya kembali! Itu sebabnya disebut kenangan : sudah lewat, tetapi dapat diingat kembali. Semua, yang terjadi “saat” itu, semua atmosfir “saat” itu yang masih dapat kita tangkap bersama kesadaran kita, itulah momen. Kita takkan mengingat hari, jam dan tanggal-nya, siang atau malam, tapi kita akan sangat ingat “saat”-nya. Kesan yang ada di “sana” “saat” itu. Dan yang pasti, apa, siapa, bagaimana, itu turut terbungkus dalam momen itu.
Untuk sebuah jawaban doa, mungkin beberapa orang mencatat detilnya di satu buku khusus. Tetapi berkaitan dengan suatu peristiwa, jarang sekali orang dapat mengingat hari-nya, kecuali saat-nya.
Saya menulis ini juga lantaran sebuah momen. Dan momen itu ada di sebuah kaset yang secara tidak sengaja saya lihat berada di atas deretan buku-buku saya yang berjejer rapih. Momen, membawa diri saya ke “sana”, atau saya akhirnya, —sambil memegang dan membuka sampul kaset― membawa diri saya ke momen itu. Siapa yang memberikan kaset itu kepada saya, kapan, (bukan pada hari dan tanggalnya, tapi saya ingat detil atmosfirnya), untuk apa diberikan, di mana diberikan, dan seterusnya. Semakin dikulik bendanya, semakin banyak yang tertangkap tentang apa-apa atau hal-hal lain yang ikut terbungkus dalam momen itu. Side A pada kaset ditulis: Forever In Love, side B: Syair yang Belum Selesai. Ohya, saya diminta untuk menuliskan sebagian syair dari lagu yang ada dalam kaset itu.
Percaya deh, sebuah momen, atau mengingat momen, dapat membuat kita tersenyum, tertawa geli, ngakak, melamun, termenung, atau bersedih.
Silakan mengingat sebuah momen, atau banyak momen dalam hidup teman-teman.
Saat ini, sambil menulis, tiba-tiba jadi begitu banyak momen yang berkelebat dalam setiap serabut ingatan saya. Masing-masing mengambil waktu antara 2-3 menit, membuat saya sesekali berhenti menulis, untuk mengingat “saat”-nya :
Saat saya menangkap capung waktu masa kanak-kanak dulu.
Saat jempol kaki saya berhadap-hadapan dengan ular beludak dan kami sama-sama mematung―itu terjadi saat saya masih SD.
Saat ayah saya mengajari saya berdansa dan mengenalkan saya pada lagu-lagu Elvis Presley, Andi Williams, Nat King Cole.
Momen ketika saya nonton film Titanic (Sama sapa hayoo…?)
Saat saya dimarahi oleh Ibu Guru Fisika karena saya tidak membawa Buku Fisika.
Saat saya menutupi rok putih seragam SMP saya dengan tas karena terkena noda haid.
Momen ketika ciuman pertama (Hehehe).
Saat saya bertengkar dengan sahabat saya.
Saat saya merawat ayah saya, sampai akhirnya Tuhan memanggilnya pulang.
Saat kecelakaan motor itu terjadi di depan mata saya dan saya melihat darah yang mengalir di kening korban.
Saat saya harus mengulang skripsi.
Momen ketika menikmati es krim di fx Sudirman, sambil ngobrol hal-hal yang menyenangkan. (Bersama kamu, kamu, kamu)
Saat seseorang menyampaikan kepada saya, bahwa saya selalu ada dalam kenangan masa remajanya: gadis lugu yang cantik, (kata dia) dengan seragam putih-putih, berdiri di sudut Jalan Dewi Sartika, saat pulang sekolah, waktu masih SMP dulu.
Saat seorang teman pria, pada suatu “pertemuan”, menyampaikan bahwa dia sangat ingin mengatakan “I Love You So Much” kepada saya saat SMA dulu. (Hmm, apa yang terjadi ya, kalau itu benar-benar dilakukannya?)
Saat..
Saat..
Saat..
Momen membawa perubahan,
Membuat pembatasan,
Memberi pengaruh,
Menghadirkan sesuatu di masa lalu ke ruang masa kini,
Menumbuhkan nilai-nilai,
Meneguhkan iman,
Mewujudkan toleransi,
Menciptakan imaginasi,
Mengubah persepsi,
Menguatkan eksistensi...
Tentu, rasanya lebih menyenangkan kalau kita tahu, bahwa kita atau sesuatu mengenai diri kita, menjadi “sesuatu” yang manis, yang terbungkus dalam momen milik seseorang, yang sewaktu-waktu dipanggil keluar dari bilik memorinya, diingat, dan.. ditelusuri kembali.
Di luar urusan transaksi bisnis, janji pertemuan, deadline kerja, dan sebagainya, akurasi mengenai waktu, bukan hal penting yang dicatat oleh memori kita, kecuali… momen-nya. Karena momen tinggal lebih lama. Banyak orang dan peristiwa dalam kehidupan kita telah membantu menciptakannya. Dan dalam kearifannya, ―kearifan kita juga, sebagai pemilik momen—momen telah memperkaya kita (sebagai pribadi), kehidupan kita, dan orang-orang di sekitar kita. Semoga.
We do not remember days, we remember moments—Cesare Pavese
Amin :-)
BalasHapus:)
BalasHapus