Siang itu, saya duduk termangu di hadapan pohon-pohon bambu yang saling bergesek. Cuaca tidak sedang terik, tapi juga tidak mendung. Hanya ada angin dan awan yang berarakan. Di bangku taman di sebuah gedung perkantoran di bilangan Kebon Sirih, Jakarta, bambu seperti menyegarkan saya lagi tentang filosofinya.
Sudah banyak orang yang mengetahui filosofi bambu, dan tidak sedikit juga yang memahaminya. Bambu, meskipun pertumbuhannya tampak lamban dari luar, tetapi mengakar ke dalam amat panjang dan kuat. Sehingga pada waktunya, yang kelihatan lamban itu menghasilkan sesuatu yang spektakuler. Bambu tumbuh menjulang, bergesekan dengan sesamanya, saling merangkul, lentur tertiup angin, namun selalu bisa tegap kembali. Dedaunannya, kalau tertiup angin menimbulkan suara yang khas. Batang bambu, kokoh. Sulit dipatahkan hanya dengan dua tangan. Bahkan jika batang bambu dibentuk dan diberi lubang, bisa menjadi alat musik yang merdu. Itulah bambu. Hidup dengan prinsip yang teguh! Bahkan dalam segala keadaan, bambu memperlihatkan keunggulan-keunggulannya.
Namun, meskipun berkali-kali kita membaca filosofi bambu, jarang sekali kita mampu menghidupi filosofi itu dalam keseharian kita. Malah seringnya, kita menjadi gusar melihat “pertumbuhan” kita yang tampak lamban. Padahal sebetulnya, karena kita sudah terlalu akrab dengan yang serba instan, sehingga yang lambat itu menjadi kurang pas di hati kita. Jarang sekali malah hampir tidak pernah kita memberikan kesempatan kepada batiniah kita untuk tumbuh dengan akar-akar yang kuat, melalui “proses yang tampak lamban” itu. Jadi, ketika ada angin sedikit, kita goyah dan malah bergerak tanpa arah, padahal sebetulnya, kita hanya perlu melatih diri agar lentur terhadap masalah, beradaptasi lalu kemudian tegak kembali.
Siapa bilang bertumbuh itu tidak sakit? Siapa bilang sukses itu tidak pernah gagal?
Belajar dari bambu.
Bambu, dari waktu ke waktu membangun ruas demi ruas hingga tinggi menjulang, setinggi yang dia inginkan. Keuletan, ketekunan, kesabaran, mengawal pertumbuhannya.
Bambu juga selalu kembali ke jati dirinya. Ketika bambu tinggi menjulang, ia tetap bambu. Ketika cuaca berubah, angin kuat, panas terik, hujan badai, bambu tetap bambu. Tidak harus berubah. Dan tidak akan berubah, bahkan ketika kecantikan suara suling mengubahnya.
Bambu, mengajari kita banyak hal untuk bertumbuh dan menyikapi hidup.
Jadi sebetulnya, Tuhan berbicara pada kita melalui Pohon Bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar