17 Agustus 2008

Bukan Malaikat Melainkan Taman




Ini cerita soal hati.
Entah berapa kali dalam hidup kita, kita seringkali bertindak bodoh. Kita berdiri di atas tumpukan kebodohan. Seringnya, kita terpaku di depan pintu yang lama sekali tertutup bagi kita, meski kita sudah berulangkali mengetuknya. Dan ketika kita tersadar, (entah disadarkan oleh orang lain atau kita telah menyadarinya), kita telah membuang waktu begitu banyak, begitu panjang, dan menempuh ribuan kilometer dalam roh dan jiwa.

Pada batas itu, inilah saatnya kepekaan jiwa berbicara. Sehingga kita tahu, apakah jawaban di balik pintu itu sebenarnya “tunggu”, “silahkan pergi” atau “sebaiknya mundur”?

Adalah pemuda dan malaikat.
Dulu, mereka selalu bersama-sama. Banyak hal mereka lewati bersama, sampai si pemuda, terjerat jala-jala jiwa. Suatu waktu, si malaikat pergi meninggalkan pemuda, untuk terbang ke tempat lain. “Ini urusan yang akan memakan waktu lama”, kata malaikat. “Baiklah,” ujar pemuda, merelakan. Mereka pun berpisah. Tidak ada cara yang pas untuk keduanya berkomunikasi, karena pemuda tak memahami bahasa angin, dan malaikat juga tidak terbang dengan sayap fajar, atau berdiam di ujung laut untuk membuat hati mereka tetap terpaut.

Suatu hari, malaikat itu memang kembali, tetapi bukan untuk si pemuda lagi.

“Semuanya berubah.” Kata malaikat.
Pemuda bersedih, hanyut dalam kedukaan yang panjang mendapati cinta mereka tidak seperti dulu lagi. Meskipun hatinya terluka, tetapi ia mengingkarinya. Tertawa, tetapi hati merana. Merana, tetapi tersembunyi dalam jiwa. Dan, tanpa ia sadari, ia merusak dirinya. Ia tidak pernah mengambil keputusan selain terus menunggu.

Sampai suatu hari, tanpa diduga-duga, ia bertemu dengan taman. Ia berhenti sejenak di taman itu, mampir sebentar untuk sekadar duduk. Taman seolah memberi hawa segar ke dalam relung hatinya yang hambar. Di taman itu, ada satu bunga yang setia mendengarkan cerita-ceritanya. Hanya mendengarkan, tidak lebih. Lama kelamaan, pemuda jadi sering mampir ke taman, untuk bercakap-cakap dengan bunga. Banyak hal menyegarkan yang ia temui di taman, dan kali ini, ia bisa tertawa tanpa merana lagi. Dan setiap kali pemuda singgah di taman, ia membawa tanaman lain untuk ditanam di sana. Sesekali, sambil bercakap-cakap, ia mencabuti rerumputan liar, memungut sampah-sampah kering di sekitar taman, dan merawat bunga yang cuma satu itu. Seiring berjalannya waktu, tanaman lain yang ia tanam pun bertumbuh, dan membuat taman hari lepas hari semakin cantik dan menyegarkan. Pemuda senang, taman pun girang. Malah ternyata, dengan merawat taman, lambat laun luka hatinya sembuh. Pemuda mempercantik taman, dan taman menyembuhkan pemuda. Memang, terkadang ia teringat pada malaikat, tetapi ingatan tentang malaikat, tidak lagi menyengat hatinya. Ia berani bilang, bahwa ia sudah sembuh sekarang.

Kesembuhan yang lahir dari memberi. Dan itu memberinya satu pelajaran berharga. Bahwa ia harus bergerak keluar untuk membawa pemulihan ke dalam. Bahwa dengan melepas, ia mendapat. Dengan memberi, ia menerima. Dulu, ia memang pernah membuang-buang waktu dan tak bernyali untuk sebuah keputusan berani. Tetapi sekarang, ia tidak begitu. Ia tahu, mengapa bukan malaikat yang ia butuhkan, melainkan taman. Dan bonusnya, si bunga cantik untuknnya. Not an angel, but an eden. Just return to eden. 


Terkadang cara penyelesaiannya sederhana; bergerak ke luar, bukan meringkuk di dalam.
Berikan, jangan disimpan.

Tuhan dapat menyembuhkan hati yang terluka, hanya jika kita memberikan kepingan-kepingannya.

2 komentar:

  1. indah, win...tulisannya
    emang kalo penulis ada aja ya caranya menuangkan isi hati ^-^. betul banget, tiap masa ada caranya sendiri untuk bertahan. Tuhan udah kasih kemampuan untuk berubah, tp manusianya yang tetep terus bertahan

    BalasHapus
  2. anonim..-kenapa nggak meninggalkan nama yah..:)- thanks yah dah mampir ke taman-ku..hehehe.
    iya, soal hati kadang gampang-gampang sulit.. cuma butuh trigger aja sih,tp jangan juga terlalu pasif.. halah..!

    BalasHapus