07 Januari 2024

BABEL


Ketika Kebingungan Melanda Jiwa

Film ini diproduksi tahun 2006, dibintangi oleh Brad Pitt.

Ini pelajaran tentang bagaimana kita, seringnya nih, memilih berkomunikasi dengan bahasa kita sendiri, tanpa memahami bahasa jiwa orang lain. Bahkan dengan Pencipta kita saja, kita membuat bahasa monolog; cuek adalah kata yang paling tepat. Sementara bahasa cuek, sama sekali tidak Tuhan kenali. Apalagi acuh-acuh butuh. 

Cerita ini mengingatkan saya pada kisah Menara Babel di Alkitab, (Kejadian 11:1-9) di mana manusia mencoba untuk menyaingi penciptanya dan membuat sebuah menara yang tingginya sampai ke langit. Akhirnya mereka diserakkan, dan masing-masing tidak lagi bisa saling memahami kata dan bahasa. Babel sendiri artinya: membingungkan.

Kehidupan yang beranjak banyak, ternyata tidak selalu membuat manusia dewasa, bijaksana, dan menjadi lebih rendah hati. Malah sebaliknya, sombong, egois, angkuh terhadap hidup, dan berjalan dengan kebenarannya sendiri, juga mau menang sendiri. Setelah banyak kehilangan dan dihadapkan dengan banyak keruwetan, baru mencari-cari pemulihan.

Film ini berkisah tentang:
Tiga ayah.
Tiga keluarga.
Tiga negara di tiga benua.
Tiga budaya.
Tiga bahasa.
Dan satu benang merah.

Film Babel, sangat menarik untuk mereka yang menyukai banyak dialog dengan banyak pelajaran soal hidup dan hubungan. Iya, ini film drama yang dikemas sangat apik terutama karena peristiwa-peristiwa yang dinyatakan di dalamnya saling bertautan menjadi titik-titik yang tidak terduga. Baru nanti di ujung cerita, kita akan tahu maksudnya apa. Ini cuma buat mereka pemikir cerdas, ya. Yang suka film laga, gak bakal betah menonton sampai akhir.

Oke. Amerika.
Seorang suami berkebangsaan Amerika, mencoba untuk memulihkan hubungan perkawinannya dengan sang istri. Kasih mereka yang telah menjadi dingin membuat suami melakukan upaya untuk membawa istri pergi jauh dari rumah, hanya berdua, dan berharap bisa bicara dari hati ke hati dan memulihkan jiwa pernikahan mereka. Istri diajak berlibur bukan ke tempat di mana banyak angin sepoi-sepoi basa, melainkan ke daerah di padang gurun yang sarat dengan konflik bersenjata. (See? Laki-laki itu jarang sekali bisa menjadi pendengar yang baik. Tanya dong, istrimu mau diajak kemana, jangan memutuskan sendiri, berdasarkan apa yang kamu mau).

Sekarang, Maroko.
Seorang ayah di Maroko punya dua anak laki-laki yang beranjak ABG. Saking terisolasi, miskin dan jauh dari hiburan, mereka harus bekerja keras untuk menyambung hidup. Bahasa didikan si ayah kepada dua anak laki-lakinya sangat sederhana namun berbahaya: mengajari mereka yang masih bocah untuk menembak dengan tepat kambing domba gurun yang tersesat. Dua bocah itu berlatih dan akhirnya bersaing peluru siapa yang melesat paling jauh. Tanpa diduga, satu tembakan menembus kaca bus pariwisata yang melintasi daerah mereka.

Ayah Jepang.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi setempat, diketahui bahwa senjata yang digunakan bocah-bocah dusun udik di Maroko tadi, ternyata milik seorang warganegara Jepang. Penelusuran peristiwa ini bukannya tanpa darah, malah jadi mengambil nyawa.
Di sisi lain, si ayah Jepang ini sedang kewalahan memahami bahasa jiwa putri tunggalnya yang mengalami trauma kehilangan, dan sedang bergumul dengan kepahitan dan penerimaan diri. Dalam pikiran remaja belia ini, laki-laki cuma menginginkan tubuh wanita saja, dan untuk mengonfirmasi itu, ia menekan “tombol penggoda”.

Lantas, bagaimana masing-masing lakon menyelesaikan situasi rumitnya?

Semoga tahun ini, kita nggak berkutat dengan kebingungan, karena itu bikin bocor energi. 


05 Juli 2022

MINIMALIS


Healing Time ~ Taman Langit, Juli 2022



 













Situasi pandemi membawa banyak perubahan kehidupan, terutama pada hubungan (antar manusia).

Sirkuit yang begitu rumit ini memaksa kita untuk mengupayakan damai bagi diri sendiri, ke dalam dan ke luar. Empat hal ini, membantu saya mewujudkannya, terapkan hari lepas hari. Ternyata, minimalis dalam emosi, reaksi, pikiran, perkataan, dan perasaan itu bikin nyaman. Bukan seadanya atau sekadarnya, tapi secukupnya. Mirip garam di dalam masakan. Yang penting ada rasa dan membuat perbedaan yang berdampak.

Sekalipun nggak mudah, tapi dimulai saja dulu. Semuanya dimulai dari sini--diri sendiri;

Kemenangan terbesar bukan memerangi orang, tapi memerangi diri sendiri. 
Ini teruji banget di banyak situasi dan kondisi, apalagi dalam sikon “dua menjadi satu”. Saat kelar pemberkatan nikah, memerangi diri sendiri sudah dimulai.

Diam dan tersenyum dua kekuatan terbesar.
Senyuman adalah jalan permulaan untuk mengatasi begitu banyak masalah.
Diam adalah jalan untuk mencegah begitu banyak masalah; karena kebanyakan kata bisa bikin salah langkah. Kita mudah banget memanjangkan lidah ketimbang melebarkan telinga. Ya, kan? Lihat aja kehancuran yang ditimbulkan, udah banyak kan?

Saat kita (hanya) fokus pada hasilnya, kita nggak akan pernah berubah. Mata kita hanya tertuju pada ujungnya saja, nggak pernah terusik dengan banyak hal di sepanjang jalan yang bisa mengubahkan kita menjadi lebih baik. Saat kita fokus pada perubahan, kita akan dapatkan hasilnya. Nggak ada proses yang nyaman. Semua proses nggak nyaman. Cengeng berarti manja. Makanya banyak yang protes. Tapi proses berujung sukses.

Semua itu membawa kita pada kesadaran akan gambaran kehidupan; bahwa hidup seperti halnya mengayuh sepeda, untuk tetap seimbang, tetaplah mengayuh, berjalan terus ke depan.
Yok, bisa.