22 Mei 2016

Mengheningkan Cipta

Pak Harto dan Gelar Pahlawan Nasional


Saya habis selesai nonton film bertema militer berbungkus drama yang memperlihatkan beberapa adegan mengheningkan cipta; hening sambil menundukkan kepala ketika sirine berbunyi. Sirine semacam itu juga pernah sangat familiar di telinga saya yang menghabiskan masa-masa sekolah di lingkungan militer. Siapa pun yang sedang melintas di area komplek pada waktu tertentu, harus menghentikan aktivitasnya,―tidak perlu menundukkan kepala tetapi minimal hening. 

Di masa sekolah dulu dan sampai kini, setiap kali mengikuti upacara bendera, pasti ada perintah untuk mengheningkan cipta dari pemimpin upacara, dan siswa diminta untuk mengenang (berdoa) bagi jasa para pahlawan yang telah gugur di jaman penjajahan demi kemerdekaan bangsa. Tak pernah dengan pokok doa yang lain selain itu.

Sekarang saya jadi mengerti arti dari mengheningkan cipta; bukan hanya “waktu untuk diam” tetapi keheningan (menjadi cara untuk) mewakili penghormatan tertinggi. 

Nah kemarin, 2 hari lalu, kita―Indonesia―baru saja memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Apakah kita mengheningkan cipta? Sama sekali tidak. Kita membuat “keributan” “kebisingan” di mana semua orang mangapin mulutnya; banyak khotib yang latah khotbah soal PKI dan pemimpin non-muslim, banyak aktivis berkoar soal HAM dan kampung kotor, aksi demo menentang kepemimpinan, dan tentu yang paling hangat, soal Pak Harto yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional.

Layak?

Mungkin bukan soal layak atau tidak layaknya. Toh di balik sisi gelap yang dia pernah torehkan di kibaran Merah Putih (pada suatu masa), wikipedia mencatatnya sebagai pemimpin Indonesia yang pernah membawa kejayaan pada swasembada beras. Jadi apanya? Mungkin tujuan politik yang terselip di balik wacana atau rencana itu. Karena dari sudut pandang  saya, ―dari pengamatan gagalnya kita mengheningkan cipta―semua tentang Pak Harto itu seperti:

Kotoran BAB yang muncul di kloset buka-tutup
Duri dalam daging di tubuh pemimpin selanjutnya
Kerikil dalam perjalanan di setiap kemenangan politik siapa pun pemenangnya
Bab yang selalu belum selesai dalam buku sejarah yang sedang ditulis siapa pun penulisnya
Puting beliung dalam setiap hati yang memendam kisah kelam
Dan kebencian yang tak pernah merelakan

Jadi mungkin lebih baik mengakhiri semua perbantahan tentang dirinya melalui sebuah keputusan.
Lihat saja nanti di 10 November 2016 ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar