01 Juni 2014

Hawa Nafsu


Joko Widodo dan Prabowo Subianto
Foto: news.metronews.com




















"Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan."
(Catatan Ayub pasal empat belas, baris pertama)



Hawa adalah perempuan pertama yang hidup di bumi, diciptakan sebagai penolong Adam. Sayangnya, ketika mereka ditempatkan di Taman Eden, Hawa bernafsu sekali untuk memakan buah terlarang. Mungkin itu sebabnya jadi muncul pengertian hawa nafsu, karena sejatinya pohon yang berbuah terlarang itu adalah pohon tentang pengetahuan yang baik dan benar. Ketika pengetahuan itu dimakan, lihatlah kini, manusia bukan hanya sok tahu dengan segala-galanya termasuk hidupnya, tetapi juga jadi dipenuhi hawa nafsu. Adakah adam nafsu? Kita hanya mengenal hawa nafsu.

Termasuk nafsu untuk menang dalam pemilihan presiden yang akan digelar 9 Juli mendatang. Tidak ada dari keduanya, baik Jokowi maupun Prabowo yang sama-sama menunjukkan nafsu untuk kalah. Dua-duanya tidak mau kalah.

Buat saya pribadi, Jokowi maupun Prabowo keduanya sama baik. Keduanya putra terbaik bangsa. Kalau Jokowi yang menang, tidak mungkin ia akan mencelakakan Indonesia. Begitu pun, kalau Prabowo yang menang, tidak mungkin ia mencelakakan Indonesia. Toh semua soal menjaga dan memelihara wibawa negara.

Jokowi
Jokowi bernafsu untuk memenangkan siapa yang menugaskannya, sehingga dia seakan-akan menjadi capres boneka? Masak? Bagaimana kalau perspektifnya begini; jika kita punya sebuah organisasi besar yang di dalamnya bernaung seseorang yang menjadi aset terbaik organisasi kita, lalu ada sebuah kompetisi besar yang melibatkan kita, dan kompetisi itu akan meningkatkan nilai-nilai organisasi kita dan menyatakan pengaruhnya bagi perubahan positif yang lebih besar, apakah kita sebagai CEO tidak akan mengutusnya ke medan juang tersebut? Ini sama sederhananya dengan ketika perusahaan mengutus seorang manager terbaik dalam sebuah konferensi akbar yang melibatkan eksistensi perusahaan tersebut. Sebagai CEO, apakah mungkin kita mengenyampingkan kata hati, sementara nurani kita yakin bahwa si manager adalah yang paling bisa kita serahi tanggung jawab ini dan lebih bisa  meyakini?

Dari kacamata saya (dan mungkin juga banyak orang), Jokowi memiliki kharisma alami. Itu sudah dari ‘sono’nya. Ketika Tuhan menciptakannya, Ia menyisipkan suatu keunggulan pribadi yang mungkin orang lain tidak miliki, karena rancanganNya dalam mencipta adalah memang untuk menjadikan setiap individu unik. Memiliki keunikan pribadi.  Jokowi piawai dalam menata. Ibarat sebuah rumah, dia tahu perabot apa ditempatkan di mana.

Prabowo
Prabowo dalang kerusuhan Mei 98? Masak? Yakin? Seyakin-yakinnya? Bagaimana kalau perspektifnya begini; jika benar dia adalah dalangnya, tanyakan dong kepada para penguasa negeri yang selalu berdiam diri. Apa susahnya dengan otoritas tertinggi di negeri ini―kecuali pada nyawanya sendiri― untuk memanggil dan mengadili, seperti halnya KPK menangkap para penjahat negeri? Bahkan kalau ditembak mati sniper, toh siapa yang menghalangi? Tentu ada alasan kenapa Tuhan tetap membiarkannya hidup sampai hari ini bahkan mengijinkannya untuk memberi diri mengabdi dan membawanya pada level yang lebih tinggi; mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Tanya, kenapa? Kenapa para pemimpin terdahulu seperti tak punya nyali untuk menguliti semua yang masih tersembunyi, di tengah-tengah rumor yang sudah mendarah daging, bahkan sepertinya setiap insan di negeri ini tak rela mengatupkan mulutnya tentang peristiwa yang masih jadi ganjalan hati? Buat saya, kalau saya tidak berada di sana, tidak menjadi bagian inti dari sebuah peristiwa yang masih menjejak dan menyisakan luka di banyak hati, tidak benar-benar tahu kebenarannya, tak patut bagi saya (dan juga kita) untuk menghakimi, apalagi berpanjang mulut sampai meninggalkan tahi.

Dari kaca mata saya (dan mungkin juga banyak orang), Prabowo tangguh! Tangguh karena mau bangkit lagi dan mengalahkan bagian hitam kelam yang pernah tergores dalam sejarah hidupnya ―terlepas dari apakah itu karena kesalahan sendiri atau akibat perbuatan orang lain. Itu memang tidak bisa dihapus, tapi bukankah lebih baik jalan terus daripada mati tergerus kesalahan tandus? Jika itu menyangkut tekad untuk maju dan menjadi pemenang atas semua keterpurukan, maka ambisus punya makna baru. Prabowo piawai dalam membangun dan mendirikan. Ibarat sebuah rumah, dia tahu rancang bangunnya harus seperti apa, sampai ke pagar-pagarnya.

Jadi,

Saudara sebangsa dan setanah air, dari Sabang sampai Merauke, dari manapun asalmu, apa pun agama dan keyakinanmu, apa pun suku dan warna kulitmu, mari miliki perspektif yang lebih sehat dan manusiawi dalam memilih pemimpin negeri. Bukankah sehat jasmani dan rohani selalu menjadi syarat utama dalam setiap ujian yang kita ikuti, bahkan juga ketika mencari jodoh buat diri sendiri? Miliki kematangan rohani, agar setiap kita lebih jernih lagi dalam mencermati. Pemimpin itu seperti jodoh bagi Indonesia kita ini. Pilih mana yang paling disukai, bebas menentukan nurani, dan jangan ada caci maki dan celaan pada kekurangan diri. Jangan dengarkan apa kata budayawan imitasi, apalagi politisi. Kata dan perilakunya sudah tidak lagi mumpuni. Sejatinya, harta, karya, takhta dan nama itu persembahan bagi negeri bukan untuk kemuliaan sendiri.
Jokowi-Prabowo selamat berkompetisi dengan rendah hati, dalam ridho Ilahi. 
KITA ADALAH NEGERI INI.




#Hari Lahir Pancasila

1 komentar:

  1. Wah kalo dari kalimat terakhir, kayaknya sering denger nih ungkapan kayak gini :) pro siapa ya...?!!? ��

    BalasHapus